Saturday, November 30, 2013

pernikahan dalam Islam



A.   Prinsip-prinsip Pernikahan dalam Islam
Secara spesifik, manusia adalah makhluk biologis yang memiliki hasrat untuk mengembangkan keturunan sebagai generasi penerusnya. Disamping itu manusia juga memiliki fungsi sebagai generasi pelurus yang mampu menyeru kepada kema’rufan dan kemunkaran (Marhumah dan Alfatih, 2003:4). Agar fungsi manusia sebagai generasi penerus dan generasi pelurus berjalan dengan seimbang, Islam memberikan aturan-aturan yang tertuang dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi secara rinci dan lengkap, salah satunya pernikahan atau perkawinan.
Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh, dan diakui baik secara agama maupun secara hukum. Al-Qur’an menganjurkan manusia untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan tentram (Qs Ar-Ruum, 30:21).

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs Ar-Ruum, 30:21).

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Qs An-Nisa, 4:3).

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(Qs An-Nuur, 24:32).
Secara bahasa, nikah berasal dari akar kata bahasa Arab : nakaha – yankihu – nikahan  yang berarti ”mengumpulkan”. Sedang secara syara’ artinya akad yang telah dikenal dan memenuhi rukun serta syarat (yang telah tentu) untuk berkumpul (Moh. Rifa’i, t.t : 268). Dengan nikah, baik laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan hal-hal yang sebelumnya dilarang oleh Islam, terutama hubungan seksual (Syafiq Hasyim, 2001:148-149).
Menurut pasal 1 Undang-undang Nomor  1 tahun 1974 tentang Perkawinan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedang pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah ”Akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidlon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah (KHI, 1992:pasal 2).
Wahbah Zuhaili mendefinisikan nikah sebagai ikatan yang ditentukan oleh pembuat syara’ (Allah) yang memungkinkan laki-laki untuk istimta’ (mendapat kesenangan seksual0 dari isteri dan demikian juga, bagi perempuan untuk mendapatkan kesenangan seksual dari suami (Wahbah Zulaili, 1989:61). Definisi Wahbah ini merupakan upaya pendefinisian kembali makna pernikahan yang tidak mengarah kepada hubungan hirarkis antara suami isteri, melainkan hubungan yang sejajar dalam relasi suami isteri.
Sesuai dengan Hadis Rasulullah SAW riwayat Ibnu Majah “Nikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak menjalankan sunnahku, dia bukan umatku”. Memahami hadis tersebut, bisa diambil pemaknaan bahwa nikah adalah anjuran (bukan kewajiban) yang bisa dikatagorikan sebagai sunah yang mendekati wajib atau sunah muakkad. Meskipun demikian, anjuran untuk menikah ini bobotnya bisa berubah-ubah menjadi wajib, makruh, mubah atau kembali ke hukum asalnya yaitu sunah, sesuai dengan kondisi dan situasi yang melingkupinya.
Hukum nikah :
1.    Sunah
Bila seseorang mempunyai penghasilan dan hasrat untuk menikah.
2.    Wajib
Bila seseorang mempunyai penghasilan dan dikhawatirkan berbuat zina.
3.    Makruh
Bila seseorang memiliki hasrat menikah tetapi belum mempunyai penghasilan.
4.    Haram
Bila seseorang berniat buruk terhadap pasangan yang akan dinikahinya.
Berkaitan dengan status perkawinan, Al-Qur’an juga menyebut dalam Surat An-Nisa, 4:21, bahwa perkawinan sebagai mitsaqan ghalidla, yakni sebuah ikatan yang kokoh. Ikatan tersebut mulai diakui setelah terucapnya sebuah perjanjian yang tertuang dalam bentuk ijab dan qabul.
Berdasarkan Al-Qur’an dan hadis, para ulama menyimpulan bahwa hal-hal yang termasuk rukun pernikahan adalah calon suami, calon isteri, dua orang saksi, ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya sanksi ini adalah pendapat Syafi’i, Hanafi dan Hambali (Mahmud Yunus, 1996:18). Adapun syarat-syarat-sahnya nikah menurut Wahbah Zulaili adalah antara suami isteri tidak ada hubungan nasab, sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu, adanya persaksian, tidak ada paksaan, ada kejelasan calon suami isteri, tidak sedang ihram, ada mahar, tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah salah satu calon mempelai, tidak sedang menderita penyakit kronis, adanya wali (Wahbah Zulaili, 1989:62).
Sedangkan menurut Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, rukun nikah yaitu :
1.    Calon Suami
Syarat :
a.    Beragama Islam
b.    Berusia sekurang-kurangnya 19 tahun
c.     Bukan muhrim
d.    Benar-benar laki-laki
e.    Tidak sedang ihram
2.    Calon Isteri
Syarat :
a.    Beragama Islam
b.    Berusia sekurang-kurangnya 16 tahun
c.     Benar-benar perempuan
d.    Tidak sedang ihram
e.    Tidak bersuami atau tidak sedang dalam masa idah
3.    Wali Nikah
Syarat :
a.    Laki-laki
b.    Beragama Islam
c.     Aqil baligh
Wali nikah terdiri dari :
a.    Wali nasab
b.    Wali hakim
Yang berhak menjadi wali nikah :
a.    Ayah dari mempelai perempuan
b.    Kakek dari mempelai perempuan
c.     Saudara laki-laki seibu sebapak dengan mempelai perempuan
d.    Saudara laki-laki sebapak dengan mempelai perempuan
e.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengan mempelai perempuan
f.     Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak dengan mempelai perempuan
g.    Saudara bapak dari mempelai perempuan yang laki-laki
h.    Anak laki-laki paman dari pihak bapak mempelai perempuan
i.      Wali hakim
4.    Dua Orang Saksi
Syarat :
a.    Laki-laki
b.    Beragama Islam
c.     Aqil baligh
d.    Adil
e.    Tidak terganggu ingatan
f.     Tidak tuna rungu atau tuli
5.    Ijab Kabul
Ijab adalah ucapan dari wali mempelai perempuan. Sedangkan kabul adalah ucapan dari mempelai laki-laki.
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
1.    Karena pertalian nasab
a.    dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
b.    dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c.     dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
2.    Karena pertalian kerabat semenda
a.    dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya
b.    dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya
c.     dengan  seorang  wanita  keturunan  isteri  atau  bekas  isterinya,  kecuali  putusnya  hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul
d.    dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya
3.    Karena pertalian sesusuan
a.  dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b.  dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah
c.  dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah
d.  dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas
e.  dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya
Tujuan dan fungsi pernikahan :
1.    Untuk mendapatkan ketenangan hidup (mawaddah warahmah)
2.    Menjaga pandangan mata
“Wahai pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu, maka menikahlah, karena dengan menikah maka akan menundukkan pandangan mata dan menjaga kehormatan, serta bagi yang tidak mampu dianjurkan untuk berpuasa karena dengan puasa dapat mengendalikan diri”. (HR. Imam Bukhari)
3.    Untuk mendapatkan keturunan
“bahwasanya Rasulullah menyuruh kita untuk menikah dan melarang kita hidup membujang. Beliau bersabda : “... Nikahilah wanita yang bibitnya subur sehingga dapat memberikan banyak keturunan, lagi penyayang karena aku bangga dihadapan para nabi dengan banyaknya kamu dihari kiamat”.(HR. Imam Ahmad)

Abdullah, Abdul Gani. 1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Gema Insani Press.

No comments:

Post a Comment