A. Prinsip-prinsip Pernikahan dalam
Islam
Secara spesifik, manusia adalah makhluk biologis yang
memiliki hasrat untuk mengembangkan keturunan sebagai generasi penerusnya.
Disamping itu manusia juga memiliki fungsi sebagai generasi pelurus yang mampu
menyeru kepada kema’rufan dan kemunkaran (Marhumah dan Alfatih, 2003:4). Agar
fungsi manusia sebagai generasi penerus dan generasi pelurus berjalan dengan
seimbang, Islam memberikan aturan-aturan yang tertuang dalam ayat-ayat
Al-Qur’an maupun hadis Nabi secara rinci dan lengkap, salah satunya pernikahan
atau perkawinan.
Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara
laki-laki dan perempuan yang terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh, dan
diakui baik secara agama maupun secara hukum. Al-Qur’an menganjurkan manusia
untuk hidup berpasang-pasangan yang bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang
bahagia dan tentram (Qs Ar-Ruum, 30:21).
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs Ar-Ruum, 30:21).
Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Qs An-Nisa, 4:3).
Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(Qs An-Nuur, 24:32).
Secara bahasa, nikah berasal
dari akar kata bahasa Arab : nakaha – yankihu – nikahan yang berarti ”mengumpulkan”. Sedang secara
syara’ artinya akad yang telah dikenal dan memenuhi rukun serta syarat (yang
telah tentu) untuk berkumpul (Moh. Rifa’i, t.t : 268). Dengan nikah, baik
laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan hal-hal yang sebelumnya dilarang
oleh Islam, terutama hubungan seksual (Syafiq Hasyim, 2001:148-149).
Menurut pasal 1
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai seorang suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedang
pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah ”Akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalidlon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
adalah ibadah (KHI, 1992:pasal 2).
Wahbah Zuhaili
mendefinisikan nikah sebagai ikatan yang ditentukan oleh pembuat syara’ (Allah)
yang memungkinkan laki-laki untuk istimta’ (mendapat kesenangan seksual0
dari isteri dan demikian juga, bagi perempuan untuk mendapatkan kesenangan
seksual dari suami (Wahbah Zulaili, 1989:61). Definisi Wahbah ini merupakan
upaya pendefinisian kembali makna pernikahan yang tidak mengarah kepada
hubungan hirarkis antara suami isteri, melainkan hubungan yang sejajar dalam
relasi suami isteri.
Sesuai dengan Hadis
Rasulullah SAW riwayat Ibnu Majah “Nikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak
menjalankan sunnahku, dia bukan umatku”. Memahami hadis tersebut, bisa
diambil pemaknaan bahwa nikah adalah anjuran (bukan kewajiban) yang bisa
dikatagorikan sebagai sunah yang mendekati wajib atau sunah muakkad.
Meskipun demikian, anjuran untuk menikah ini bobotnya bisa berubah-ubah menjadi
wajib, makruh, mubah atau kembali ke hukum asalnya yaitu sunah, sesuai dengan
kondisi dan situasi yang melingkupinya.
Hukum nikah :
1.
Sunah
Bila seseorang mempunyai
penghasilan dan hasrat untuk menikah.
2.
Wajib
Bila seseorang mempunyai
penghasilan dan dikhawatirkan berbuat zina.
3.
Makruh
Bila seseorang memiliki hasrat
menikah tetapi belum mempunyai penghasilan.
4.
Haram
Bila seseorang berniat buruk
terhadap pasangan yang akan dinikahinya.
Berkaitan dengan status perkawinan, Al-Qur’an juga
menyebut dalam Surat An-Nisa, 4:21, bahwa perkawinan sebagai mitsaqan
ghalidla, yakni sebuah ikatan yang kokoh. Ikatan tersebut mulai diakui
setelah terucapnya sebuah perjanjian yang tertuang dalam bentuk ijab dan qabul.
Berdasarkan Al-Qur’an dan hadis, para ulama menyimpulan
bahwa hal-hal yang termasuk rukun pernikahan adalah calon suami, calon isteri,
dua orang saksi, ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya sanksi ini adalah
pendapat Syafi’i, Hanafi dan Hambali (Mahmud Yunus, 1996:18). Adapun
syarat-syarat-sahnya nikah menurut Wahbah Zulaili adalah antara suami isteri
tidak ada hubungan nasab, sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu, adanya
persaksian, tidak ada paksaan, ada kejelasan calon suami isteri, tidak sedang
ihram, ada mahar, tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah salah
satu calon mempelai, tidak sedang menderita penyakit kronis, adanya wali
(Wahbah Zulaili, 1989:62).
Sedangkan menurut Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
rukun nikah yaitu :
1. Calon Suami
Syarat :
a. Beragama Islam
b. Berusia
sekurang-kurangnya 19 tahun
c. Bukan muhrim
d. Benar-benar laki-laki
e. Tidak sedang ihram
2.
Calon Isteri
Syarat :
a. Beragama Islam
b. Berusia
sekurang-kurangnya 16 tahun
c. Benar-benar perempuan
d. Tidak sedang ihram
e. Tidak bersuami atau tidak sedang dalam masa idah
3. Wali Nikah
Syarat :
a. Laki-laki
b. Beragama Islam
c. Aqil baligh
Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab
b. Wali hakim
Yang berhak menjadi wali nikah :
a. Ayah dari mempelai
perempuan
b. Kakek dari mempelai perempuan
c. Saudara laki-laki
seibu sebapak dengan mempelai perempuan
d. Saudara laki-laki
sebapak dengan mempelai perempuan
e. Anak laki-laki dari
saudara laki-laki yang seibu sebapak dengan mempelai perempuan
f. Anak laki-laki dari
saudara laki-laki yang sebapak dengan mempelai perempuan
g. Saudara bapak dari
mempelai perempuan yang laki-laki
h. Anak laki-laki paman
dari pihak bapak mempelai perempuan
i.
Wali hakim
4. Dua Orang Saksi
Syarat :
a. Laki-laki
b. Beragama Islam
c. Aqil baligh
d. Adil
e. Tidak terganggu
ingatan
f. Tidak tuna rungu atau
tuli
5. Ijab Kabul
Ijab adalah ucapan dari wali mempelai perempuan.
Sedangkan kabul adalah ucapan dari mempelai laki-laki.
Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
1. Karena pertalian
nasab
a. dengan seorang wanita
yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
b. dengan seorang wanita
keturunan ayah atau ibu
c. dengan seorang wanita
saudara yang melahirkannya
2. Karena pertalian
kerabat semenda
a. dengan seorang wanita
yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya
b. dengan seorang wanita
bekas isteri orang yang menurunkannya
c. dengan seorang
wanita keturunan isteri
atau bekas isterinya,
kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya
itu qobla al dukhul
d. dengan seorang wanita
bekas isteri keturunannya
3. Karena pertalian
sesusuan
a. dengan
wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b. dengan
seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah
c. dengan
seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah
d. dengan
seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas
e. dengan
anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya
Tujuan dan fungsi pernikahan :
1. Untuk mendapatkan
ketenangan hidup (mawaddah warahmah)
2. Menjaga pandangan
mata
“Wahai pemuda, barangsiapa diantara kamu
yang sudah mampu, maka menikahlah, karena dengan menikah maka akan menundukkan
pandangan mata dan menjaga kehormatan, serta bagi yang tidak mampu dianjurkan
untuk berpuasa karena dengan puasa dapat mengendalikan diri”. (HR. Imam Bukhari)
3. Untuk mendapatkan
keturunan
“bahwasanya Rasulullah menyuruh kita untuk
menikah dan melarang kita hidup membujang. Beliau bersabda : “... Nikahilah
wanita yang bibitnya subur sehingga dapat memberikan banyak keturunan, lagi
penyayang karena aku bangga dihadapan para nabi dengan banyaknya kamu dihari
kiamat”.(HR. Imam Ahmad)
Abdullah, Abdul Gani.
1994. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia.
Jakarta : Gema Insani Press.
No comments:
Post a Comment