Betapa enak
menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua
tersedia. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir
pribadi.Terkadang aku merasa malu. Aku tak seperti mereka yang punya baju
bagus, wajah cantik, gaul, berduit, dan punya motor yang bias membawa kemana
saja. Jangankan semua itu, punya sepeda butut saja aku sudah sangat bersyukur. Banyak yang bilang
aku culun, kuper, jelek, tapi aku tak pernah peduli. Aku juga tak memilii
banyak teman kecuali saat ulangan mereka butuh contekan. Tuhan memang adil,
meskipun aku tak mendapat fasilitas pendidikan yang lengkap tetapi aku punya
otak yang encer. Aku masih bisa mengimbangi bahan melebihi teman-temanku
yang notabene golongan menengah keatas.
‘Tari, kenapa
melamun?” Lili menepuk bahuku.
“Eh, Lili..enggak
kok,” aku memungkiri,”Aku Cuma inget masa kecilku aja.”
“Tar, yang lalu
biarlah berlalu. Kita kan masih muda, jalan hidup kita masih panjang. Tatap
masa depan dan raih cita-citamu. Banggakan dirimu dan keluargamu. Aku tahu kamu
cerdas, pintar, berbakat, berpotensi, jadi..”
“Jadi apa?”
potongku,” Sejak kapan kamu jadi sok bijaksana gitu?”
“Tari, udah dari
dulu kali, kamu yang gak nyadar,” kata Lili.
Seandainya kamu
tahu kalau aku bukan mikirin itu. Aku mikirin gimana nasibku besok. Aku tak
punya tas dan sepatu bagus untuk ikut camping. Aku ingin sekali ikut acara itu.
Tapi apa mungkin aku bias ikut? Ya Allah tolonglah aku.
“Tari, udah siap
buat camping?” Tanya Lili.
“Sepertinya
belum, kamu?” aku balik bertanya.
“Aku sih mana
pernah sesiap kamu,” katanya,” Kau kan orang yang slalu nginetin aku soal ini
itu.”
@@@
Siang itu aki jalan kaki untuk pulang
ke rumah. Sepeda bututku itu dipakai ibu untuk bekerja. Aku hanya bisa
merelakan, aku tak mau melihat ibu bersedih. Lebih baik aku capek dan kepanasan
demi ibu. Kehidupan keluargaku terbilang sederhana. Ayah bekerja di pabrik kecil dan mengurus sawah dibantu ibu. Aku sedihtak
bias membantu mereka karena aku selalu pulang sore hari. Aku kasihan melihat
mereka membanting tulang setiap hari untuk mengupayakan kehidupan yang layak
untukku dan adikku. Namun, sepertinya semua jauh dari harapan mereka. Aku
merasa lebih lega karena aku dapat beasiswa dari sekolah.
Dulu kehidupan keluargaku tak begini. Ayah
dan ibu bekerja dan mendapat gaji yang lebih dari cukup untuk hidup empat
orang. Mereka juga sangat memanjakanku dan menuruti semua keinginanku.
Semua berawal ejak hari itu, 30
oktober 2002 saat aku masih duduk di bangku kelas 2 SD. Pagi itu aku bangun
lebih pagi dan berniat berangkat sekolah setelah sekian lama sakit typus.
Namun, kuurungkan niatku saat aku mendengar ibu menjerit. Aku melihat bayi lima
bulan di pangkuan ibu telah terbujur kaku dan punggungnya biru. Dia adlah adik
laki-lakiku yang lucu, manis, menggemaskan sayangnya bernasib tragis. Sebagian
orang mengatakan dia mati dimakan buto, tapi aku tak percaya tahayul itu.
Keyakinanku terbukti beberapa minggu kemudian lewat pernyataan dokter.
Bulan Desember 2002, beberapa hari
setelah Hari Raya IdulFitri, kami kembali terpukul. Sebagian pabrik tempat
bekerja ayahku dilalap si jago merah. Para karyawan menganggap ini hanya
rekayasa pabrik agar mendapat asuransi dan selamat dari kebangkrutan. Setelah
kejadian itu, beberapa karyawan terpaksa diPHK termasuk ayahku. Karyawan
melakukan demonstrasi karena pesangon yang akan diberikan pabrik tidak sesuai
dengan aturan yang berlaku. Kasus itu dibawa ke Mahkamah Agung tapi pabriklah
yang menang. Semua karyawan yang diPHK hanya mendapat jatah sepertiga dari pesangon
yang seharusnya.
Setelah itu ayah mulai bangkit. Ayah sempat bekerja di beberapa pabrik yang gajinya lumayan besar, tapi tak
bertahan lama. Kemudian ayah bekerja disebuah pabrik kecil dan mengurus sawah.
Namun, tiga tahun setelahnya ibu bernasib sama seperti ayah. Hanya saja masalah
utamanya adalah tindakan pabrik yang tak menyalurkan pungutan dari karyawan ke
Jamsostek. Keluaraku semakin terpuruk saat bayi perempuan itu lahir.dia memang
anugerah meski disaat tak tepat. Itulah keluargaku, ibarat sudah jatuh tertimpa
tangga pula.
@@@
“Assalamu’alaikum,”
aku membuka pintu rumah.
“Wa’alaikumsalam,”
jawab ibu dari dapur,” Tari sudah pulang rupanya.”
“Iya, Bu,”aku
masuk ke kamar.
Aku berpikir. Apa
aku harus mengutarakan keinginanku kepada ibu? Aku tak berani memintanya. Aku takut
ibu nantinya bukan membelikan tapi memarahiku. Aku menimbang dan menimbang. Aku rasa untuk yang satu ini aku perlu bicara
pada ibu. Bukankah ibu sudah lama ta membelikan sesuatu untukku. Apa salahnya
aku meminta.
Aku keluar dari
kamar ku lihat tas selempangan berwarna merah tergeletak di lantai. Aku
memungut tas yang kelihatannya masih baru itu. Tas siapa ini? Lia tak pernah
punya tas seperti ini.
“Lia...”
panggilku.
“Apa mbak?”
jawabnya dari luar rumah.
“Masuk dulu,”
pintaku,” Tas siapa yang kau letakkan di lantai? Kotor tau.”
“Oh, init as baruku mbak,” jawabnya,”
Tadi pagi ibu membwlikannya untukku. Bagus kan? Pasti mbak ngiri ma aku.
Lalalalala..”
Sombong sekali anak TK ini. Rupanya
dia mau pamer padaku, gak bakal berhasil. Mana mungkin aku ngiri ma anak nakal
dan jail seperti dia.
“Mbak gak dibeliin. Lalalalala…,” ledeknya,” Tuh kan ibu sayangnya Cuma sama aku. Buktinya Cuma
aku yang dibeliin.”
“ Heh, kamu mau
ngledek aku ya?” aku mulai marah,” Sini kamu. Dasar anak nakal, jail, bandel,
kerjaannya cuma maen doang.”
Lia berlari
keluar. Ku rasa tak ada gunanya juga mengejarnya. Kalau kukejar pasti aku yang
kalah, larinya kan cepat sekali udah kayak angina aja.
@@@
Malamnya aku masih menimbang-nimbang.
Aku bingung. Siang tadi aku tak sempat makan jadi berpikir pun terasa sia-sia.
Apa aku harus langsung bilang ke ayah saja? Ah aku semakin bingung.
“Tari, makan dulu,” seru ibu dari
dapur.
“Iya, Bu sebentar,” sahutku.
Aku keluar kamar menuju dapur. Saat
yang tepat untuk bicara. Ada ayah dan ibu
juga. Tapi
aku harus bilang gimana ya? Aku takut sama ayah. Ayah kan galak. Kalau nanti
aku bilang malah dipukul gimana?
“Bu, aku mau bilang sesuatu,” kataku
sebelum memulai makan.
“Makan dulu, setelah makan baru kamu
bicara,” kata ibu,” Bukankah tadi siang kamu juga belum makan?”
“Iya, Bu,” aku menurut.
Suasana makan malam itu membuatku tak
nyaman. Aku masih kepikiran yang tadi. Kelihatannya ayah akan
marah jika aku bilang yang sebenarnya. Tapi apa boleh buat, aku harus tetap
mencoba. Siapa tau ayah punya uang dan mau membelikan sepatu da tas untukku.
“Ibu…” kataku.
“Apa sayang? Ibu
sedang sibuk, bisakah nanti saja bicaranya,” saran ibu.
“Oh iya, Bu,” aku
setuju,” Aku akan bicara setelah ibu selesai menjahit.”
Rasanya semakin
lama keberanianku untuk bilang malah semakin menciut. Sepertinya Tuhan tak
mengijinkanku bicara pada ibu. Sedari tadi ibu selalu sibuk. Ayahpastilah capek
dan aku tak mau mengganggu istirahat ayah. Tapi kapan aku harus bilang kalau
begini terus? Aku sangat butuh tas dan sepatu baru itu untuk kemah. Aku kan
tidak bias ikut dengan kondisi tas dan sepatu yang tak layak.
“Tari, kata ibumu
kau mau bicara pada ayah?” ayah membuatku kaget.
“Tidak ayah,”
jawabku.
Ya aku memang tak
mau bilang ke ayah. Aku takut.
“Tapi kata ibumu
tadi kau mau bicara,” tutur ayah,”Atau kamu mau bilang saja ke ibumu?”
“Ya ayah, nanti
aku akan bicara sama ibu saja,” aku sedikit kecewa dengan jawabanku.
Mungkin ini keputusan yang tepat. Aku akan bicara ke ibu saja. Aku akan menunggu sampai ibu selesai menjahit.
Aku mau belajar, tapi tak konsen ya sama saja. Aku tunggu ibu sambil baca buku
cerita saja.
“Tari…” panggil
ibu.
“Iya, Bu,” aku
keluar dari kamar.
“Kau mau bicara
apa sama ibu? Tadi ayahmu bilang kalau akan bicara saja ke ibu,” kata ibu.
“Apa ibu membelikan
tas baru untuk Lia?” tanyaku.
“Iya tadi ibu
membelikan untuknya, kenapa Tari?” ibu bertanya.
Aku diam.
“Tari, mau bilang
apa?” ibu bertanya lagi.
“Mungkin besok
saja Bu, aku capek. Aku
tidur dulu,” aku langsung ke kamar.
Lidahku tak bisa bergerak untuk
mengungkapkan keinginanku pada ibu. Aku juga bingung
kenapa aku begini.
@@@
“Kau
kenapa lagi?” tanya Lili.
“Aku tak apa,”
jawabku berbohong.
“Mata tak bias berbohong Tari. Kau
bisa bilang begitu tapi sebenarnya aku tak mau bicara itu bukan?” kata Lili.
“Ya sudahlah kalau tak percaya,” aku
membuatnya agak kecewa.
Hari itu aku
benar-benar tak bisa berkonsentrasi saat pelajaran. Aku masih saja memikirkan
soal itu. Rasanya hari berjalan begitu lama siang ini. Aku ingin cepat pulang
dan menyampaikan keinginanku pada ibu. Aku tak bisa menunda-nunda lagi. Semakin
lama aku malah jadi bingung.
“Kau akan bawa berapa tas saat camping
besok?” tanya Lili saat pulang sekolah.
“Entahlah,” aku
menjawab dengan lesu,”Aku merasa malas ikut kemah. Rasanya ingin di rumah saja.”
“Kenapa?” tanya
Lili lagi,”Tak ada kau tak rame tau.”
“Baru nyadar
kau,” aku menepuk pundaknya,”Tak ada aku, tak ada yang secerewet aku kan?”
“Ya gak gitu
juga,” tangkisnya.
“Gak usah malu
mengakui lagi, hahaha,” aku tertawa.
“Udah ah, ntar
kepala lu tambah gede,” sahutnya.
Aku pulang dengan
rasa khawatir, kecewa dan sedih. Aku khawatir bila ibu tahu, dia akan marah.
Aku juga sedikit kecewa dengan kata-kata Lili tadi. Aku pasti akan sedih bila
ibu tak bias membelikanku dan aku tak bias ikut camping.
@@@
“Bu, aku ingin
bicara,” kataku.
“Mau bicara apa?”
tanya ibu.
Aku diam. Kenapa
saat aku sudah dihadapan ibu aku malah tak bias bicara. Lidahku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kenapa diam?”
ibu bertanya lagi.
“Aku takut ibu
marah kalau aku bicara,” aku memberanikan diri.
“Kau tidak
mencuri atau berbuat tak baik pada orang bukan?” tebak ib,’Apa kau
melakukannya?”
“Tentu saja
tidak, Bu,” bantahku.
“Lalu apa Tari?”
ibu terlihat kebingungan.
Aku diam lagi.
Aku beruasaha mengumpulkan sekuat tenagaku untuk bicara soal itu pada ibu.
“Masalah tas baru
Lia, Bu,” kataku.
“Kenapa dengan
tas Lia?” tanya ibu.
“Ibu punya uang
darimana untuk membelikan tas untuknya?” aku bertanya.
“Oh itu,” ibu
terlihat berpikir,”Kebetulan ibu punya rezeki lebih jadi ibu membelikan tas
untuknya.”
Lia lagi, Lia
lagi. Sepertinya anak itu telah membuat ibu lupa padaku. Ibu tak seperti
dulu yang selalu membuatku senang. Sekarang Lialah anak emasnya. Lia kau telah
membuatku cemburu.
“Bu, aku juga butuh tas dan sepatu
baru untuk kemah minggu depan,” pintaku.
“Kau kan masih punya tas dan sepatu
yang masih bisa dipakai,” kata ibu,”Sekarang ibu sudah tak punya uang untuk
membelikanmu.”
“Tapi ini sudah
tak layak pakai,” aku menunjakkan tas dan sepatuku pada ibu.
“Ibu janji kalau
ibu punya uang pasti akan membelikan untukmu sayang,” kata ibu sambil memegang
pundakku.
“Tapi aku butuh
minggu depan, Bu,” aku berbicara dengan nada agak tinggi.
“Ibu kan sudah
bilang kalau tak punya uang,” ibu membentakku,”Apa kau tak bisa sedikit
bersabar.”
Aku kecewa
mendebgar jawaban ibu. Anak itu telah mengambil perhatian ibu padaku. Sejak ada
kau hidupku terasa menderita. Aku benci kau Lia.
“Kenapa untukku
ibu selalu bilang tak ada?” aku menangis,”Sementara Lia selalu mendapat apa
yang dia mau.”
“Tari cukup,” ibu membentakku
lagi,”Ibu tak mau mendengar itu.”
“Kenapa Bu?” tanyaku,”Apa itu yang ibu
bilang adil?”
Ibu menamparku.
Aku hanya bisa menangis dan langsung masuk kamar. Ibu memang tak adil. Bahkan
dia tega menamparku. Semua ini gara-gara anak itu. Aku benci dia. Dia
telah merebut segalanya dariku.
@@@
Seharian kemarin aku tak sempat makan.
Perutku jadi sakit sekarang. Aku nyesel sudah marah-marah dan membentak ibu. Aku memang benci Lia tapi tak seharusnya aku sekasar itu pada ibu. Dia
orang yang sudah mengandung selama 9 bulan dan dia tak pernah merasa malu
membawaku kemana-mana. Dia juga telah mempertaruhkan nyawanya untukku membuatku
lahir ke dunia sehingga aku bisa merasakan indahnya hidup.
“Hayo mikirin
sapa?” Lili mengagetkanku.
“Enggak kok,” aku
berbohong.
“Kenapa sih
akhir-akhir ini kamu jadi sering melamun?” tanya Lili,”Apa sedang ada masalah?”
“Sebenarnya aku
merasa menyesal karena kemarin aku udah marah-marah dan membentak ibuku,” aku
sedih.
“Kenapa? Itu kan
dosa Tari,” katanya.
“Iya aku tau,”
kataku,”Kemarin aku terbawa emosi, Li.”
“Sebaiknya kamu
harud degera minta maaf sama ibu kamu,” saran Lili.
Aku agak lega ada
orang yang mau memberiku saran. Aku merasa lebih baik sekarang. Nanti pulang
sekolah aku akan melakukan apa yang telah Lili sarankan.
“Harus minta maaf secepatnya lho,”
sahut Lili,”Kamu gak mau dikutuk jadi batu kayak Malin Kundang kan?”
“Kamu pingin aku jadi batu?” tanyaku
bercanda.
“Kamu memang selalu serius. Kamu gak bisa diajak bercanda,” protesnya,”Bisa gak sekali-sekali
bercanda?”
“Iya aku tanyanya
kan cuma bercanda. Kamu yang gak bisa diajak bercabda,” aku membalik keadaan.
“Yeee, kok aku,”
Lili protes lagi.
“Aku cuma
bercabda kok,” kataku,”Udah bercabdabya, ini ada tugas dikerjain dulu.”
Aku merasa lebih
lega. Aku bisa konsentrasi belajar sekarang. Ya Allah terimakasih Kau telah
mengirimkan sahabat sebaik Lili untukku.
@@@
“Assalamu’alaikum,”
ucapku sambil membuka pintu.
Tumben tak ada
yang menjawab. Aku bergegas ke kamar. Langkahku terhenti saat melihat sebuah
tas berwarba cokelat di kursi. Tas siapa itu? Apa ibu beli tas lagi? Kali ini
aku tak akan cemburu melihatnya. Aku sudah bersyukur masih bisa bersekolah
sampai sekarang.
“Ibu..”panggilku.
“Iya Tari,” sahut
ibu dari kamar.
“Bu, aku minta
maaf karena kemarin aku sudah berbicara kasar ke ibu,’ pintaku,”Ibu mau
memaafkanku bukan?”
“Gimana ya?” kata
ibu.
“Apa ibu tak mau
memaafkanku?” tanyaku,”Aku mohon maafkan aku, Bu. Aku sangat menyesal dan aku
berjanji tak akan mengulanginya lagi.”
“Maksud ibu bukan
itu Tari,” kata ibu.
Aku malah jadi
bingung sama ibu. Sepertinya ibu benar-benar marah padaku sehingga dia harus
berpikir-pikir sebelum memaafkanku. Aku menyesal kenapa harus begini.
“Kau sudah lihat
tas barumu?” ibu membuatku kaget.
“Tas? Jadi itu
tas baruku,”aku memeluk ibu,”Terimakasih, Bu. Ibu adalah ibu terbaik yang ada
dalam hidupku. Oh ya, Lia kemana?”
“Apa mbak?” Lia
muncul tiba-tiba.
“Maafkan mbak ya,
mbak selalu berpikir kamu ngrebut perhatian ibu,” kataku.
“Iya aku udah
maafin mbak,” Lia memelukku.
Aku senang
sekali. Aku dapat pelajaran dari kisah ini. Aku bisa menerima Lia menjadi
adikku. Terimakasih Ya Allah, Kau beri aku kesempatan hidup dikeluarga yang
nyaman dan bahagia.
“Tari, ibu hanya
belikan tas saja,” kata ibu,”Ada temnmu yang memberikan sepatu ini untukmu.”
“Temanku? Siapa?”
tanyaku.
“Itu untuk kamu
Tari. Kamu lebih membutuhkannya daripada aku,” Lili muncul dari balik pintu.
Aku
menghampirinya. Aku memeluknya erat sekali.
“Udah dong, sesak nafas nih,” katanya.
“Maaf,” kataku malu,”Makasih untuk
semuanya. Kau memang sahabat terbaikku Lili. Tapi aku membuatmu repot ya?”
“Enggak kok,” serunya,”Aku malah
seneng bisa bantu kamu.”
~selesai~