Friday, December 6, 2013

Tas Baru Untuk Tari


Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua tersedia. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi.Terkadang aku merasa malu. Aku tak seperti mereka yang punya baju bagus, wajah cantik, gaul, berduit, dan punya motor yang bias membawa kemana saja. Jangankan semua itu, punya sepeda butut saja aku sudah sangat bersyukur. Banyak yang bilang aku culun, kuper, jelek, tapi aku tak pernah peduli. Aku juga tak memilii banyak teman kecuali saat ulangan mereka butuh contekan. Tuhan memang adil, meskipun aku tak mendapat fasilitas pendidikan yang lengkap tetapi aku punya otak yang encer. Aku masih bisa mengimbangi bahan melebihi teman-temanku yang notabene golongan menengah keatas.
‘Tari, kenapa melamun?” Lili menepuk bahuku.
“Eh, Lili..enggak kok,” aku memungkiri,”Aku Cuma inget masa kecilku aja.”
“Tar, yang lalu biarlah berlalu. Kita kan masih muda, jalan hidup kita masih panjang. Tatap masa depan dan raih cita-citamu. Banggakan dirimu dan keluargamu. Aku tahu kamu cerdas, pintar, berbakat, berpotensi, jadi..”
“Jadi apa?” potongku,” Sejak kapan kamu jadi sok bijaksana gitu?”
“Tari, udah dari dulu kali, kamu yang gak nyadar,” kata Lili.
Seandainya kamu tahu kalau aku bukan mikirin itu. Aku mikirin gimana nasibku besok. Aku tak punya tas dan sepatu bagus untuk ikut camping. Aku ingin sekali ikut acara itu. Tapi apa mungkin aku bias ikut? Ya Allah tolonglah aku.
“Tari, udah siap buat camping?” Tanya Lili.
“Sepertinya belum, kamu?” aku balik bertanya.
“Aku sih mana pernah sesiap kamu,” katanya,” Kau kan orang yang slalu nginetin aku soal ini itu.”
@@@

Siang itu aki jalan kaki untuk pulang ke rumah. Sepeda bututku itu dipakai ibu untuk bekerja. Aku hanya bisa merelakan, aku tak mau melihat ibu bersedih. Lebih baik aku capek dan kepanasan demi ibu. Kehidupan keluargaku terbilang sederhana. Ayah bekerja di pabrik kecil dan mengurus sawah dibantu ibu. Aku sedihtak bias membantu mereka karena aku selalu pulang sore hari. Aku kasihan melihat mereka membanting tulang setiap hari untuk mengupayakan kehidupan yang layak untukku dan adikku. Namun, sepertinya semua jauh dari harapan mereka. Aku merasa lebih lega karena aku dapat beasiswa dari sekolah.
Dulu kehidupan keluargaku tak begini. Ayah dan ibu bekerja dan mendapat gaji yang lebih dari cukup untuk hidup empat orang. Mereka juga sangat memanjakanku dan menuruti semua keinginanku.
Semua berawal ejak hari itu, 30 oktober 2002 saat aku masih duduk di bangku kelas 2 SD. Pagi itu aku bangun lebih pagi dan berniat berangkat sekolah setelah sekian lama sakit typus. Namun, kuurungkan niatku saat aku mendengar ibu menjerit. Aku melihat bayi lima bulan di pangkuan ibu telah terbujur kaku dan punggungnya biru. Dia adlah adik laki-lakiku yang lucu, manis, menggemaskan sayangnya bernasib tragis. Sebagian orang mengatakan dia mati dimakan buto, tapi aku tak percaya tahayul itu. Keyakinanku terbukti beberapa minggu kemudian lewat pernyataan dokter.
Bulan Desember 2002, beberapa hari setelah Hari Raya IdulFitri, kami kembali terpukul. Sebagian pabrik tempat bekerja ayahku dilalap si jago merah. Para karyawan menganggap ini hanya rekayasa pabrik agar mendapat asuransi dan selamat dari kebangkrutan. Setelah kejadian itu, beberapa karyawan terpaksa diPHK termasuk ayahku. Karyawan melakukan demonstrasi karena pesangon yang akan diberikan pabrik tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Kasus itu dibawa ke Mahkamah Agung tapi pabriklah yang menang. Semua karyawan yang diPHK hanya mendapat jatah sepertiga dari pesangon yang seharusnya.
Setelah itu ayah mulai bangkit. Ayah sempat bekerja di beberapa pabrik yang gajinya lumayan besar, tapi tak bertahan lama. Kemudian ayah bekerja disebuah pabrik kecil dan mengurus sawah. Namun, tiga tahun setelahnya ibu bernasib sama seperti ayah. Hanya saja masalah utamanya adalah tindakan pabrik yang tak menyalurkan pungutan dari karyawan ke Jamsostek. Keluaraku semakin terpuruk saat bayi perempuan itu lahir.dia memang anugerah meski disaat tak tepat. Itulah keluargaku, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.
@@@

“Assalamu’alaikum,” aku membuka pintu rumah.
“Wa’alaikumsalam,” jawab ibu dari dapur,” Tari sudah pulang rupanya.”
“Iya, Bu,”aku masuk ke kamar.
Aku berpikir. Apa aku harus mengutarakan keinginanku kepada ibu? Aku tak berani memintanya. Aku takut ibu nantinya bukan membelikan tapi memarahiku. Aku menimbang dan menimbang. Aku rasa untuk yang satu ini aku perlu bicara pada ibu. Bukankah ibu sudah lama ta membelikan sesuatu untukku. Apa salahnya aku meminta.
Aku keluar dari kamar ku lihat tas selempangan berwarna merah tergeletak di lantai. Aku memungut tas yang kelihatannya masih baru itu. Tas siapa ini? Lia tak pernah punya tas seperti ini.
“Lia...” panggilku.
“Apa mbak?” jawabnya dari luar rumah.
“Masuk dulu,” pintaku,” Tas siapa yang kau letakkan di lantai? Kotor tau.”
“Oh, init as baruku mbak,” jawabnya,” Tadi pagi ibu membwlikannya untukku. Bagus kan? Pasti mbak ngiri ma aku. Lalalalala..”
Sombong sekali anak TK ini. Rupanya dia mau pamer padaku, gak bakal berhasil. Mana mungkin aku ngiri ma anak nakal dan jail seperti dia.
“Mbak gak dibeliin. Lalalalala…,” ledeknya,” Tuh kan ibu sayangnya Cuma sama aku. Buktinya Cuma aku yang dibeliin.”
“ Heh, kamu mau ngledek aku ya?” aku mulai marah,” Sini kamu. Dasar anak nakal, jail, bandel, kerjaannya cuma maen doang.”
Lia berlari keluar. Ku rasa tak ada gunanya juga mengejarnya. Kalau kukejar pasti aku yang kalah, larinya kan cepat sekali udah kayak angina aja.
@@@
Malamnya aku masih menimbang-nimbang. Aku bingung. Siang tadi aku tak sempat makan jadi berpikir pun terasa sia-sia. Apa aku harus langsung bilang ke ayah saja? Ah aku semakin bingung.
“Tari, makan dulu,” seru ibu dari dapur.
“Iya, Bu sebentar,” sahutku.
Aku keluar kamar menuju dapur. Saat yang tepat untuk bicara. Ada ayah dan ibu juga. Tapi aku harus bilang gimana ya? Aku takut sama ayah. Ayah kan galak. Kalau nanti aku bilang malah dipukul gimana?
“Bu, aku mau bilang sesuatu,” kataku sebelum memulai makan.
“Makan dulu, setelah makan baru kamu bicara,” kata ibu,” Bukankah tadi siang kamu juga belum makan?”
“Iya, Bu,” aku menurut.
Suasana makan malam itu membuatku tak nyaman. Aku masih kepikiran yang tadi. Kelihatannya ayah akan marah jika aku bilang yang sebenarnya. Tapi apa boleh buat, aku harus tetap mencoba. Siapa tau ayah punya uang dan mau membelikan sepatu da tas untukku.
“Ibu…” kataku.
“Apa sayang? Ibu sedang sibuk, bisakah nanti saja bicaranya,” saran ibu.
“Oh iya, Bu,” aku setuju,” Aku akan bicara setelah ibu selesai menjahit.”
Rasanya semakin lama keberanianku untuk bilang malah semakin menciut. Sepertinya Tuhan tak mengijinkanku bicara pada ibu. Sedari tadi ibu selalu sibuk. Ayahpastilah capek dan aku tak mau mengganggu istirahat ayah. Tapi kapan aku harus bilang kalau begini terus? Aku sangat butuh tas dan sepatu baru itu untuk kemah. Aku kan tidak bias ikut dengan kondisi tas dan sepatu yang tak layak.
“Tari, kata ibumu kau mau bicara pada ayah?” ayah membuatku kaget.
“Tidak ayah,” jawabku.
Ya aku memang tak mau bilang ke ayah. Aku takut.
“Tapi kata ibumu tadi kau mau bicara,” tutur ayah,”Atau kamu mau bilang saja ke ibumu?”
“Ya ayah, nanti aku akan bicara sama ibu saja,” aku sedikit kecewa dengan jawabanku.
Mungkin ini keputusan yang tepat. Aku akan bicara ke ibu saja. Aku akan menunggu sampai ibu selesai menjahit. Aku mau belajar, tapi tak konsen ya sama saja. Aku tunggu ibu sambil baca buku cerita saja.
“Tari…” panggil ibu.
“Iya, Bu,” aku keluar dari kamar.
“Kau mau bicara apa sama ibu? Tadi ayahmu bilang kalau akan bicara saja ke ibu,” kata ibu.
“Apa ibu membelikan tas baru untuk Lia?” tanyaku.
“Iya tadi ibu membelikan untuknya, kenapa Tari?” ibu bertanya.
Aku diam.
“Tari, mau bilang apa?” ibu bertanya lagi.
“Mungkin besok saja Bu, aku capek. Aku tidur dulu,” aku langsung ke kamar.
Lidahku tak bisa bergerak untuk mengungkapkan keinginanku pada ibu. Aku juga bingung kenapa aku begini.
@@@
            “Kau kenapa lagi?” tanya Lili.
            “Aku tak apa,” jawabku berbohong.
“Mata tak bias berbohong Tari. Kau bisa bilang begitu tapi sebenarnya aku tak mau bicara itu bukan?” kata Lili.
“Ya sudahlah kalau tak percaya,” aku membuatnya agak kecewa.
Hari itu aku benar-benar tak bisa berkonsentrasi saat pelajaran. Aku masih saja memikirkan soal itu. Rasanya hari berjalan begitu lama siang ini. Aku ingin cepat pulang dan menyampaikan keinginanku pada ibu. Aku tak bisa menunda-nunda lagi. Semakin lama aku malah jadi bingung.
“Kau akan bawa berapa tas saat camping besok?” tanya Lili saat pulang sekolah.
“Entahlah,” aku menjawab dengan lesu,”Aku merasa malas ikut kemah. Rasanya ingin di rumah saja.”
“Kenapa?” tanya Lili lagi,”Tak ada kau tak rame tau.”
“Baru nyadar kau,” aku menepuk pundaknya,”Tak ada aku, tak ada yang secerewet aku kan?”
“Ya gak gitu juga,” tangkisnya.
“Gak usah malu mengakui lagi, hahaha,” aku tertawa.
“Udah ah, ntar kepala lu tambah gede,” sahutnya.
Aku pulang dengan rasa khawatir, kecewa dan sedih. Aku khawatir bila ibu tahu, dia akan marah. Aku juga sedikit kecewa dengan kata-kata Lili tadi. Aku pasti akan sedih bila ibu tak bias membelikanku dan aku tak bias ikut camping.
@@@
“Bu, aku ingin bicara,” kataku.
“Mau bicara apa?” tanya ibu.
Aku diam. Kenapa saat aku sudah dihadapan ibu aku malah tak bias bicara. Lidahku tak bisa  mengeluarkan sepatah kata pun.
“Kenapa diam?” ibu bertanya lagi.
“Aku takut ibu marah kalau aku bicara,” aku memberanikan diri.
“Kau tidak mencuri atau berbuat tak baik pada orang bukan?” tebak ib,’Apa kau melakukannya?”
“Tentu saja tidak, Bu,” bantahku.
“Lalu apa Tari?” ibu terlihat kebingungan.
Aku diam lagi. Aku beruasaha mengumpulkan sekuat tenagaku untuk bicara soal itu pada ibu.
“Masalah tas baru Lia, Bu,” kataku.
“Kenapa dengan tas Lia?” tanya ibu.
“Ibu punya uang darimana untuk membelikan tas untuknya?” aku bertanya.
“Oh itu,” ibu terlihat berpikir,”Kebetulan ibu punya rezeki lebih jadi ibu membelikan tas untuknya.”
Lia lagi, Lia lagi. Sepertinya anak itu telah membuat ibu lupa padaku. Ibu tak seperti dulu yang selalu membuatku senang. Sekarang Lialah anak emasnya. Lia kau telah membuatku cemburu.
“Bu, aku juga butuh tas dan sepatu baru untuk kemah minggu depan,” pintaku.
“Kau kan masih punya tas dan sepatu yang masih bisa dipakai,” kata ibu,”Sekarang ibu sudah tak punya uang untuk membelikanmu.”
“Tapi ini sudah tak layak pakai,” aku menunjakkan tas dan sepatuku pada ibu.
“Ibu janji kalau ibu punya uang pasti akan membelikan untukmu sayang,” kata ibu sambil memegang pundakku.
“Tapi aku butuh minggu depan, Bu,” aku berbicara dengan nada agak tinggi.
“Ibu kan sudah bilang kalau tak punya uang,” ibu membentakku,”Apa kau tak bisa sedikit bersabar.”
Aku kecewa mendebgar jawaban ibu. Anak itu telah mengambil perhatian ibu padaku. Sejak ada kau hidupku terasa menderita. Aku benci kau Lia.
“Kenapa untukku ibu selalu bilang tak ada?” aku menangis,”Sementara Lia selalu mendapat apa yang dia mau.”
“Tari cukup,” ibu membentakku lagi,”Ibu tak mau mendengar itu.”
“Kenapa Bu?” tanyaku,”Apa itu yang ibu bilang adil?”
Ibu menamparku. Aku hanya bisa menangis dan langsung masuk kamar. Ibu memang tak adil. Bahkan dia tega menamparku. Semua ini gara-gara anak itu. Aku benci dia. Dia telah merebut segalanya dariku.
@@@
Seharian kemarin aku tak sempat makan. Perutku jadi sakit sekarang. Aku nyesel sudah marah-marah dan membentak ibu. Aku memang benci Lia tapi tak seharusnya aku sekasar itu pada ibu. Dia orang yang sudah mengandung selama 9 bulan dan dia tak pernah merasa malu membawaku kemana-mana. Dia juga telah mempertaruhkan nyawanya untukku membuatku lahir ke dunia sehingga aku bisa merasakan indahnya hidup.
“Hayo mikirin sapa?” Lili mengagetkanku.
“Enggak kok,” aku berbohong.
“Kenapa sih akhir-akhir ini kamu jadi sering melamun?” tanya Lili,”Apa sedang ada masalah?”
“Sebenarnya aku merasa menyesal karena kemarin aku udah marah-marah dan membentak ibuku,” aku sedih.
“Kenapa? Itu kan dosa Tari,” katanya.
“Iya aku tau,” kataku,”Kemarin aku terbawa emosi, Li.”
“Sebaiknya kamu harud degera minta maaf sama ibu kamu,” saran Lili.
Aku agak lega ada orang yang mau memberiku saran. Aku merasa lebih baik sekarang. Nanti pulang sekolah aku akan melakukan apa yang telah Lili sarankan.
“Harus minta maaf secepatnya lho,” sahut Lili,”Kamu gak mau dikutuk jadi batu kayak Malin Kundang kan?”
“Kamu pingin aku jadi batu?” tanyaku bercanda.
“Kamu memang selalu serius. Kamu gak bisa diajak bercanda,” protesnya,”Bisa gak sekali-sekali bercanda?”
“Iya aku tanyanya kan cuma bercanda. Kamu yang gak bisa diajak bercabda,” aku membalik keadaan.
“Yeee, kok aku,” Lili protes lagi.
“Aku cuma bercabda kok,” kataku,”Udah bercabdabya, ini ada tugas dikerjain dulu.”
Aku merasa lebih lega. Aku bisa konsentrasi belajar sekarang. Ya Allah terimakasih Kau telah mengirimkan sahabat sebaik Lili untukku.
@@@
“Assalamu’alaikum,” ucapku sambil membuka pintu.
Tumben tak ada yang menjawab. Aku bergegas ke kamar. Langkahku terhenti saat melihat sebuah tas berwarba cokelat di kursi. Tas siapa itu? Apa ibu beli tas lagi? Kali ini aku tak akan cemburu melihatnya. Aku sudah bersyukur masih bisa bersekolah sampai sekarang.
“Ibu..”panggilku.
“Iya Tari,” sahut ibu dari kamar.
“Bu, aku minta maaf karena kemarin aku sudah berbicara kasar ke ibu,’ pintaku,”Ibu mau memaafkanku bukan?”
“Gimana ya?” kata ibu.
“Apa ibu tak mau memaafkanku?” tanyaku,”Aku mohon maafkan aku, Bu. Aku sangat menyesal dan aku berjanji tak akan mengulanginya lagi.”
“Maksud ibu bukan itu Tari,” kata ibu.
Aku malah jadi bingung sama ibu. Sepertinya ibu benar-benar marah padaku sehingga dia harus berpikir-pikir sebelum memaafkanku. Aku menyesal kenapa harus begini.
“Kau sudah lihat tas barumu?” ibu membuatku kaget.
“Tas? Jadi itu tas baruku,”aku memeluk ibu,”Terimakasih, Bu. Ibu adalah ibu terbaik yang ada dalam hidupku. Oh ya, Lia kemana?”
“Apa mbak?” Lia muncul tiba-tiba.
“Maafkan mbak ya, mbak selalu berpikir kamu ngrebut perhatian ibu,” kataku.
“Iya aku udah maafin mbak,” Lia memelukku.
Aku senang sekali. Aku dapat pelajaran dari kisah ini. Aku bisa menerima Lia menjadi adikku. Terimakasih Ya Allah, Kau beri aku kesempatan hidup dikeluarga yang nyaman dan bahagia.
“Tari, ibu hanya belikan tas saja,” kata ibu,”Ada temnmu yang memberikan sepatu ini untukmu.”
“Temanku? Siapa?” tanyaku.
“Itu untuk kamu Tari. Kamu lebih membutuhkannya daripada aku,” Lili muncul dari balik pintu.
Aku menghampirinya. Aku memeluknya erat sekali.
“Udah dong, sesak nafas nih,” katanya.
“Maaf,” kataku malu,”Makasih untuk semuanya. Kau memang sahabat terbaikku Lili. Tapi aku membuatmu repot ya?”
“Enggak kok,” serunya,”Aku malah seneng bisa bantu kamu.”

~selesai~

No comments:

Post a Comment