Sinar mentari pagi mulai menerobos celah
pepohonan rindang yang berjajar rapi di sepanjang jalan yang membelah taman itu.
Kursi kayu bercat putih nan indah tertata di bawah pepohonan. Sesekali
angin berhembus membuat pohon bergoyang dan burung-burung kecil terbang
meninggalkan tangkainya. Rumput pun senada, seakan tak mau kehilangan momen
itu. Rumput bergoyang dengan indah diiringi nyanyian burung kecil dan alunan
suara angin yang menerpa dedaunan. Sungguh, minggu pagi yang damai. Aku memperlambat
langkahku untuk menikmatinya.
Lima anak kecil berlarian tanpa beban. Mereka
bersenandung memecah kesunyian di antara orang-orang yang sedari tadi berlari
mengelilingi taman ini. Canda tawa mereka membuat setiap orang yang
melihat mereka tersenyum senang. Aku pun demikian.
Bruk..aku
terjatuh. Ibu yang menabrakku pun terjatuh.
“Ibu tidak apa-apa kan?” aku membangunkan
ibu itu.
“Tak apa,” ibu itu tampak kesakitan.
“Mari saya bantu,” kataku.
Aku memapah ibu itu menuju kursi terdekat.
Aku memeriksa kaki ibu itu. Ternyata lututnya lecet. Aku yang bersalah tadi,
aku berlari tanpa memerhatikan jalan sehingga menabrak ibu itu.
“Maaf, Bu. Kaki ibu lecet begini, biar
saya bersihkan,” kataku.
“Iya. Namamu siapa Nak?” tanya ibu itu
padaku.
“Saya Dinta. Ibu siapa?” aku sembari
membersihkan kaki ibu itu yang lecet.
“Nama Ibu, nama ibu. Siapa? Siapa
namaku? Aku tak tahu siapa namaku,” ibu itu histeris.
“Sudah
Bu, tak apa,” aku menenangkan ibu itu.
Ibu
itu aneh. Sepertinya ibu ini masih
waras. Bagaimana mungkin dia tak mengingat namanya sendiri. Lalu, bagaimana dengan keluarganya? Kenapa
ibu ini berjalan sendirian?
“Rumah Ibu di mana? Mari saya antar
pulang,” aku membantu ibu itu bangkit dari kursi.
“Rumah?
Di mana rumahku? Aku tak ingat. Rumahku
dimana?” ibu itu menangis histeris.
Aku berusaha menenangkan ibu itu. Bukannya
tenang, ibu itu makin histeris. Semua orang di taman itu melihat ke arahku. Aku
jadi tak enak diri.
“Ibu,” panggil seseorang dari kejauhan.
“Maaf, bukan aku yang bikin Ibu kamu jadi
gini,” kataku.
“Aku tahu, makasih. Ayo, Bu,” dia pergi
memapah ibunya.
***
“Eh, dari mana? Aku udah nunggu dari tadi
lho,” Lola duduk di kursi teras rumah sambil makan cemilan.
“Ke Pasar. Ya jogging lah, liat nih baju
penuh keringat gini,” aku duduk langsung menyambar gelas di depan Lola.
“Eh,
minumanku tuh,” sahut Lola.
“Rumah
rumah sapa? Rumahku kan. Minum minum sapa? Dari kulkasku kan?” timpalku.
“Kalau mau minum ambil sendiri di kulkas.
Lola itu kan tamu, harus dihormatinn,” ibu muncul dari balik pintu.
“Ibu
kok belain Lola sih,” aku cemberut.
“Sudah mandi sana, kasian Lola sudah
nunggu lama,” ibu menyeretku,”Tungga ya Nak Lola.”
Lola lagi Lola lagi. Nih anak kebiasaan
mangkal di rumah. Masalahnya Ibu itu paling baik sedunia. Kalau bicara sama
tamu itu lembut banget kayak bulu. Giliran sama anak sendiri galaknya gak
ketulungan. Rawrr..macan pun lewat. Parahnya lagi tiap Lola ke sini itu dijamu
kayak ratu gitu. Sementara anak sendiri gak boleh makan banyak, katanya makan
berlebihan itu gak baik. Katanya lagi pola hidupku itu harus dijaga biar gak
kena diabetes seperti nenek dan kakak-kakak Bapak. Ah, itu mah modus.
Inilah kamarku yang seperti kapal pecah.
Tiap diberesin mesti diberantakin lagi sama Mocca. Mocca itu bukan kopi, tapi
adik perempuanku. Ku rasa namanya memang pantas untuk yang punya, hitam seperti
kopi. Hahahaha..Gimana ya, abis beda banget sih. Mending aku ada manis sama
imutnya, kalau dia itu amit-amit, usil, nakal, nyebelin, gitu deh.
“Dinta..” panggil Ibu dari luar kamar.
“Ya, Bu. Sebentar masih mandi,” jawabku
sebel.
Ibu gak tahu orang lagi narsis kali ya.
Mandi aja belum selesai, udah dipanggil-panggil. Lain kali di depan
kamar harus dipasang tulisan “Don’t disturb me or I will kick you”.
“Sudah,
mari berangkat. Assalamu’alaikum,” aku mencium tangan ibu.
“Assalamu’alaikum,
berangkat dulu Bu,” Lola juga mencium tangan Ibu.
Lola
dan aku langsung tancap gas.
***
Aku dan Lola sampai di tempat pameran. Berbagai
macam barang dipamerkan di sini, ada kerajinan, lukisan, patung, batik, buku,
barang elektronik, banyak deh. Ternyata ramai sekali, orang-orang berlalu
lalang. Jalanan yang sempit ini penuh sesak. Maklum hari minggu, banyak
yang libur.
Aku
dan Lola berkeliling. Sejam berlalu, belum ada yang menarik perhatianku.
Tiba-tiba aku melihat kotak musik di salah satu stand. Bentuknya unik, warnanya
merah marun. Sangat cantik. Aku tertarik untuk melihatnya.
“Mbak,
kotak musiknya,” aku dan suara cowok itu kompak.
“Kamu?”
aku kaget.
“Kamu
yang nolong ibu aku tadi pagi kan?” tanyanya.
“Iya,” jawabku.
Ketemu lagi. Hmm, lumayan tampan. Sepertinya
baik dan perhatian.
“Aku Arga, kamu?” dia bertanya kembali.
“Dinta, ini Lola,” kataku.
“Mas
jadi gak kotak musiknya?” mbak penjaga stand mulai sewot.
“Iya
mbak,” Arga langsung menyerahkan uang.
Padahal
aku duluan yang tertarik sama kotak musik itu. Gagal deh. Haduh.
“Ayo cari tempat duduk,” ajak Arga.
Aku dan Lola mengikuti Arga. Kami
berhenti di salah satu stand penjaja makanan. Arga memesan tiga porsi bakso.
“Ini
buat kamu, tanda terima kasih karena udah nolong ibuku,” dia menyerahkan kotak
musik yang dibelinya tadi.
“Untukku?”
aku bingung.
“Iya.
Ibu sakit Alzheimer. Ya begitulah
kondisinya sekarang,” dia tampak sedih.
“Alzheimer? Apaan tuh?” celetuk Lola.
“Penyakit alzheimer adalah suatu kondisi
ketika sel-sl saraf di otak mati, sehingga sinyal-sinyal otak sulit
ditransmisikan dengan baik,” jawab Arga.
“Iya, La. Jadi bisa lupa ingatan gitu.
Arga yang sabar ya,” kataku.
Siang itu kuhabiskan bersama Arga dan Lola
menikmati suasana pameran. Meski ramai, tapi aku bisa merasakan hati Arga sunyi
sekali. Dia banyak diam, wajahnya kelihatan tak bersemangat. Langkahnya seperti
orang yang tak arah arah dan tujuan. Badannya pun tak terawat, kurus sekali.
Aku bisa merasakan betapa sayangnya dia terhadap ibunya.
***
Sejak kejadian itu aku dan Arga mulai
dekat. Arga sering mampir ke rumah dan mengajakku jalan. Bahkan dia sering
mengajak ibunya. Aku tak pernah merasa risih, justru aku sangat senang. Setiap
ku melihat senyum Bu Suci, hatiku terasa damai. Ada kebahagiaan yang muncul
saat senyum Bu Suci merekah.
Siang
itu aku pergi ke rumah Arga. Aku membawa kue bikinan ibu. Ibu sendiri yang
menyuruhku untuk menyerahkan kue ini.
“Bu, ini Dinta,” kataku pada Bu Suci yang
duduk di teras.
“Dinta? Dinta siapa?” Bu Suci kelihatan
bingung.
“Temen Arga, Bu,” Arga muncul dari balik
pintu.
“Oh, sini duduk Nak,” Bu Suci
mempersilahkanku duduk.
“Terimakasih, Bu. Ini kue dari ibu saya,”
kataku sambil menyerahkan kue itu pada Bu Suci.
“Terimakasih
Nak, repot-repot,” Bu Suci langsung membawa kue itu ke dapur.
Tampaknya kondisi Bu Suci semakin buruk. Tubuhnya
makin kurus. Pakaiannya makin lusuh. Rambutnya makin gimbal saja. Bahkan dia
sudah mulai lupa namaku. Aku takut
dia juga mulai lupa akan kenangannya dan Arga.
Pyarrr..terdengar suara barang pecah.
“Ibu,” aku dan Arga langsung berlari
menuju dapur.
Rupanya tampak beberapa piring dan gelas
pecah. Bu Suci terduduk di sudu dapur dan menangis histeris.
“Ibu kenapa?” Arga memeluk Bu Suci.
“Ibu nyari pisau untuk motong kuenya biar Nak Dinta bisa makan sama kita,
tapi Ibu lupa naruh dimana,” Bu Suci mulai tenang.
“Sudah, Bu. Dinta sudah makan kuenya di
rumah,” kataku lalu membantu Bu Suci berdiri.
“Ibu istirahat di kamar saja ya,” Arga
memapah Bu Suci menuju kamar.
Aku makin
prihatin melihat kondisi Bu Suci. Semakin hari semakin buruk. Penyakit
Alzheimer susah disembuhkan karena sampai saat ini belum ada obatnya. Namun,
aku salut sama Arga. Dia anak yang begitu berbakti. Dia rela merawat ibunya meski
ayahnya telah pergi meninggalkan mereka. Ayahnya pergi dengan wanita lain sejak
mengetahui Bu Suci sakit Alzheimer.
Sungguh tragis.
***
Hari
berikutnya aku datang lagi ke rumah Arga. Kali ini aku takmelihat Bu Suci duduk
di teras rumah.
“Assalamu’alaikum,”
aku mengetuk pintu.
“Wa’alaikumsalam,”
Arga membukakan pintu,”Ayo masuk.”
Aku dan Arga langsung menuju kamar Bu
Suci.
“Dinta ya?” Bu Suci menyebutkan namaku.
“Iya
Bu,” jawabku.
Tumben Bu Suci mengingat namaku. Biasanya dia selalu lupa. Bahkan dia juga mulai
lupa nama Arga. Namanya sendiri pun sudah tak bisa mengingatnya. Alamat, tempat
menaruh benda, kenangannya, sedikit sekali yang masih dia ingat. Dia
makin lupa hal-hal kecil. Kemampuan melihatnya pun makin berkurang. Bu Suci
mudah marah, tersinggung, gelisah, bingung, dan paranoid. Bahkan Bu Suci sudah
lupa bagaimana cara makan, mandi, dan berpakaian.
“Ibu, kencing di
celana lagi ya,” Arga memeriksa lantai yang telah basah.
“Biar aku
bantu,kamu ambil pel saja,” sahutku.
Rasanya aku ingin
menangis. Perih sekali. Meski Bu Suci bukan ibuku, aku begitu menyayangi Bu
Suci seperti ibuku sendiri.
“Kenapa menangis Nak?” Bu Suci menghapus air mataku.
“Tak apa, Bu,” aku langsung mengusap air mataku.
Arga membawa
ember berisi air dan pel. Arga mengepel lantai itu. Aku begitu terharu
menyaksikan pemandangan ini.
“Arga, Dinta anak
yang baik ya,” Bu Suci tersenyum pada Arga,”Coba jadi pacar kamu.”
“Ibu, apaan sih bilang begitu. Kalau Dinta sudah punya pacar
terus marah gimana,” Arga terlihat senyum-senyum sendiri.
“Enggak, Bu. Dinta gak punya pacar kok,” aku langsung salah
tingkah.
***
“Gimana
kondisi Bu Suci?” Lola sambil makan es krim coklat kesukaannya.
“Makin
parah. Bahkan dia sudah lupa cara makan, mandi, berpakaian,” aku menghentikan
langkahku lalu duduk di salah satu kursi di taman itu.
“Aku
turut prihatin,” Lola berhenti makan es
krim lalu memelukku.
“Orang
gila, orang gila, orang gila,” suara anak-anak dari kejauhan.
Aku penasaran. Apa bener ada orang gila di
sini. Aku mendekat. Bu Suci rupanya. Bajunya memang dan tampak berantakan tanpa
menggunakan alas kaki.
“Aku
bukan orang gila,” bentak Bu Suci.
“Adek-adek,
ibu ini gak gila. Sekarang adek-adek pergi ya,” aku memberi pengertian.
“Kamu siapa?” Bu Suci kelihatan marah.
“Saya Dinta, Bu,” aku memegang kedua
tangan Bu Suci.
“Lepaskan,”
Bu Suci memberontak lalu berlari.
“Bu..” teriakku.
Aku dan Lola mengejar Bu Suci. Bu
Suci berlari makin cepat seperti orang dikejar anjing. Aku dan Lola tak dapat
menghentikannya. Brukk…sebuah truk menabrak Bu Suci.
“Ibu,” terdengar suara Arga dari seberang.
Aku dan Lola mendekat. Tubuh Bu Suci
bersimbah darah. Sementara truk yang menabrak Bu Suci langsung kabur.
“Arga, ibu sudah tidak kuat lagi,” kata Bu
Suci terbata-bata di pangkuan Arga.
“Ibu
harus kuat, Arga akan bawa ibu ke rumah sakit,” Arga menangis.
Belum
sempat dibawa ke rumah sakit, Bu Suci sudah menghembuskan nafs terakhir. Arga
histeris. Aku dan Lola ikut menangis di samping Arga. Orang di sekitar mendekat
dan mulai membantu kami.
***
Hari
itu adalah hari pemakaman Bu Suci. Aku melihat Arga masih menangis di samping
jasad Bu Suci. Terus terang aku merasa bersalah. Seandainya aku tak mengejar Bu
Suci, semua ini takkan terjadi. Aku sangat kehilangan.
“Arga,
sudahlah kamu harus mengikhlaskan. Bu Suci pasti sedih kalau melihat kam terus
begini,” aku mendekati Arga.
“Din,
kamu gak tahu kan rasanya ayah kamu pergi bersama wanita lain. Kamu gak tahu
kan kami harus hidup kesepian di atas penderitaan ini. Ibu kamu sehat, gak
seperti ibuku yang sakit Alzheimer. Dan ibu kamu masih hidup,” Arga terlihat
sangat marah.
“Arga,
aku gak maksud gitu,” kataku mulai berlinang air mata.
“Lebih
baik kamu pergi,” usir cewek di samping Arga.
“Dinta, sudahlah,” Lola mengajakku menjauh
dari Arga.
Aku memang bersalah. Aku telah
menghilangkan nyawa orang yang begitu berarti untuk Arga. Aku menghilangkan
nyawa Bu Suci yang begitu berarti untuk Arga. Arga benci sama aku. Bahkan ada
perempuan lain yang menemani di sampingnya sedari tadi.
Tak lama setelah itu, jenazah Bu Suci
dikebumikan di tempat peristirahatan yang terakhir. Aku dan Lola melihat dari
kejauhan. Aku tak ingin Arga marah padaku lagi.
***
Satu tahun kemudian
Daun-daun itu menari. Ada keunikan
tersendiri saat melihat mereka meninggalkan tangkainya. Bahkan saat mereka
jatuh dan tersapu angin, masih tetap indah. Tapi aku sedih, mereka tak lagi
hijau, mereka akan layu dan mati. Walau begitu aku masih bisa melihat mereka
tersenyum. Seandainya mereka bisa bicara, mungkin mereka akan berterima kasih
karena pernah merasa berguna. Jatuh satu, tumbuh yang baru untuk menguatkan
yang lain. Aku pun begitu. Saat semangatku hilang, akankah kau menggantikan
semangatku? Jika tidak, bolehkah aku berharap?
Sejak
pemakaman Bu Suci, aku tak pernah lagi melihat Arga. Tiap kau datang ke
rumahnya, selalu sepi. Saat aku mencoba menghubunginya, ponselnya tak pernah
aktif. Apa Arga benar-benar marah
padaku? Kenapa saat aku mulai sadar akan hati ini? Kenapa saat aku mulai
meletakkan hatiku untuknya? Kenapa saat rasa itu terasa menyesakkan dadaku? Aku
memang bersalah, tapi apa tak ada maaf untukku. Selama ini aku selalu nyaman
sama Arga yang begitu baik dan ramah. Aku sakit melihat Arga marah dan lebih
memilih perempuan itu yang menemaninya saat di pemakaman.
Memang,
kau itu angin. Kau menyejukkanku, tapi satu sisi kau meruntuhkan hatiku. Kau ibarat
bintang, sinarmu menerangi hatiku. Namun, tak sadarkah kau pesonamu menyilaukan
hati yang lain. Mungkin kau juga api, yang membakar semangatku. Lalu kau pun
membuatku terbakar cemburu.
“Mbak, hpnya jatuh,” suara seseorang
membangunkan lamunanku.
“Arga?” aku kaget.
“Iya, kamu masih sering ke taman ini?”
tanyanya.
“Iya, tempat ini adalah kenangan untuk
kita, kenangan bersama ibu kamu,” aku mulai meneteskan air mata.
“Jangan
menangis, ibu takkan suka melihatmu menangis,” Arga menghapus air mataku.
“Kamu maafin aku?” aku menatapnya dalam.
“Kenapa harus marah? Aku sayang sama kamu,
Din. Maukah kau menjadi bintang di hatiku?,” Arga balik menatapku.
“Iya, aku mau,” aku tersenyum.
~The End~
No comments:
Post a Comment