Sunday, August 11, 2013

Bintang Hati


Sinar mentari pagi mulai menerobos celah pepohonan rindang yang berjajar rapi di sepanjang jalan yang membelah taman itu. Kursi kayu bercat putih nan indah tertata di bawah pepohonan. Sesekali angin berhembus membuat pohon bergoyang dan burung-burung kecil terbang meninggalkan tangkainya. Rumput pun senada, seakan tak mau kehilangan momen itu. Rumput bergoyang dengan indah diiringi nyanyian burung kecil dan alunan suara angin yang menerpa dedaunan. Sungguh, minggu pagi yang damai. Aku memperlambat langkahku untuk menikmatinya.
Lima anak kecil berlarian tanpa beban. Mereka bersenandung memecah kesunyian di antara orang-orang yang sedari tadi berlari mengelilingi taman ini. Canda tawa mereka membuat setiap orang yang melihat mereka tersenyum senang. Aku pun demikian.
Bruk..aku terjatuh. Ibu yang menabrakku pun terjatuh.
“Ibu tidak apa-apa kan?” aku membangunkan ibu itu.
“Tak apa,” ibu itu tampak kesakitan.
“Mari saya bantu,” kataku.
Aku memapah ibu itu menuju kursi terdekat. Aku memeriksa kaki ibu itu. Ternyata lututnya lecet. Aku yang bersalah tadi, aku berlari tanpa memerhatikan jalan sehingga menabrak ibu itu.
“Maaf, Bu. Kaki ibu lecet begini, biar saya bersihkan,” kataku.
“Iya. Namamu siapa Nak?” tanya ibu itu padaku.
“Saya Dinta. Ibu siapa?” aku sembari membersihkan kaki ibu itu yang lecet.
“Nama Ibu, nama ibu. Siapa? Siapa namaku? Aku tak tahu siapa namaku,” ibu itu histeris.
“Sudah Bu, tak apa,” aku menenangkan ibu itu.
Ibu itu aneh. Sepertinya ibu ini masih waras. Bagaimana mungkin dia tak mengingat namanya sendiri. Lalu, bagaimana dengan keluarganya? Kenapa ibu ini berjalan sendirian?
“Rumah Ibu di mana? Mari saya antar pulang,” aku membantu ibu itu bangkit dari kursi.
“Rumah? Di mana rumahku? Aku tak ingat. Rumahku dimana?” ibu itu menangis histeris.
Aku berusaha menenangkan ibu itu. Bukannya tenang, ibu itu makin histeris. Semua orang di taman itu melihat ke arahku. Aku jadi tak enak diri.
“Ibu,” panggil seseorang dari kejauhan.
“Maaf, bukan aku yang bikin Ibu kamu jadi gini,” kataku.
“Aku tahu, makasih. Ayo, Bu,” dia pergi memapah ibunya.
***
“Eh, dari mana? Aku udah nunggu dari tadi lho,” Lola duduk di kursi teras rumah sambil makan cemilan.
“Ke Pasar. Ya jogging lah, liat nih baju penuh keringat gini,” aku duduk langsung menyambar gelas di depan Lola.
“Eh, minumanku tuh,” sahut Lola.
“Rumah rumah sapa? Rumahku kan. Minum minum sapa? Dari kulkasku kan?” timpalku.
“Kalau mau minum ambil sendiri di kulkas. Lola itu kan tamu, harus dihormatinn,” ibu muncul dari balik pintu.
“Ibu kok belain Lola sih,” aku cemberut.
“Sudah mandi sana, kasian Lola sudah nunggu lama,” ibu menyeretku,”Tungga ya Nak Lola.”
Lola lagi Lola lagi. Nih anak kebiasaan mangkal di rumah. Masalahnya Ibu itu paling baik sedunia. Kalau bicara sama tamu itu lembut banget kayak bulu. Giliran sama anak sendiri galaknya gak ketulungan. Rawrr..macan pun lewat. Parahnya lagi tiap Lola ke sini itu dijamu kayak ratu gitu. Sementara anak sendiri gak boleh makan banyak, katanya makan berlebihan itu gak baik. Katanya lagi pola hidupku itu harus dijaga biar gak kena diabetes seperti nenek dan kakak-kakak Bapak. Ah, itu mah modus.
Inilah kamarku yang seperti kapal pecah. Tiap diberesin mesti diberantakin lagi sama Mocca. Mocca itu bukan kopi, tapi adik perempuanku. Ku rasa namanya memang pantas untuk yang punya, hitam seperti kopi. Hahahaha..Gimana ya, abis beda banget sih. Mending aku ada manis sama imutnya, kalau dia itu amit-amit, usil, nakal, nyebelin, gitu deh.
“Dinta..” panggil Ibu dari luar kamar.
“Ya, Bu. Sebentar masih mandi,” jawabku sebel.
Ibu gak tahu orang lagi narsis kali ya. Mandi aja belum selesai, udah dipanggil-panggil. Lain kali di depan kamar harus dipasang tulisan “Don’t disturb me or I will kick you”.
“Sudah, mari berangkat. Assalamu’alaikum,” aku mencium tangan ibu.
“Assalamu’alaikum, berangkat dulu Bu,” Lola juga mencium tangan Ibu.
Lola dan aku langsung tancap gas.
***
Aku dan Lola sampai di tempat pameran. Berbagai macam barang dipamerkan di sini, ada kerajinan, lukisan, patung, batik, buku, barang elektronik, banyak deh. Ternyata ramai sekali, orang-orang berlalu lalang. Jalanan yang sempit ini penuh sesak. Maklum hari minggu, banyak yang libur.
Aku dan Lola berkeliling. Sejam berlalu, belum ada yang menarik perhatianku. Tiba-tiba aku melihat kotak musik di salah satu stand. Bentuknya unik, warnanya merah marun. Sangat cantik. Aku tertarik untuk melihatnya.
“Mbak, kotak musiknya,” aku dan suara cowok itu kompak.
“Kamu?” aku kaget.
“Kamu yang nolong ibu aku tadi pagi kan?” tanyanya.
“Iya,” jawabku.
Ketemu lagi. Hmm, lumayan tampan. Sepertinya baik dan perhatian.
“Aku Arga, kamu?”  dia bertanya kembali.
“Dinta, ini Lola,” kataku.
“Mas jadi gak kotak musiknya?” mbak penjaga stand mulai sewot.
“Iya mbak,” Arga langsung menyerahkan uang.
Padahal aku duluan yang tertarik sama kotak musik itu. Gagal deh. Haduh.
“Ayo cari tempat duduk,” ajak Arga.
Aku dan Lola mengikuti Arga. Kami berhenti di salah satu stand penjaja makanan. Arga memesan tiga porsi bakso.
“Ini buat kamu, tanda terima kasih karena udah nolong ibuku,” dia menyerahkan kotak musik yang dibelinya tadi.
“Untukku?” aku bingung.
“Iya. Ibu sakit Alzheimer. Ya begitulah kondisinya sekarang,” dia tampak sedih.
“Alzheimer? Apaan tuh?” celetuk Lola.
“Penyakit alzheimer adalah suatu kondisi ketika sel-sl saraf di otak mati, sehingga sinyal-sinyal otak sulit ditransmisikan dengan baik,” jawab Arga.
“Iya, La. Jadi bisa lupa ingatan gitu. Arga yang sabar ya,” kataku.
Siang itu kuhabiskan bersama Arga dan Lola menikmati suasana pameran. Meski ramai, tapi aku bisa merasakan hati Arga sunyi sekali. Dia banyak diam, wajahnya kelihatan tak bersemangat. Langkahnya seperti orang yang tak arah arah dan tujuan. Badannya pun tak terawat, kurus sekali. Aku bisa merasakan betapa sayangnya dia terhadap ibunya.
***
Sejak kejadian itu aku dan Arga mulai dekat. Arga sering mampir ke rumah dan mengajakku jalan. Bahkan dia sering mengajak ibunya. Aku tak pernah merasa risih, justru aku sangat senang. Setiap ku melihat senyum Bu Suci, hatiku terasa damai. Ada kebahagiaan yang muncul saat senyum Bu Suci merekah.
Siang itu aku pergi ke rumah Arga. Aku membawa kue bikinan ibu. Ibu sendiri yang menyuruhku untuk menyerahkan kue ini.
“Bu, ini Dinta,” kataku pada Bu Suci yang duduk di teras.
“Dinta? Dinta siapa?” Bu Suci kelihatan bingung.
“Temen Arga, Bu,” Arga muncul dari balik pintu.
“Oh, sini duduk Nak,” Bu Suci mempersilahkanku duduk.
“Terimakasih, Bu. Ini kue dari ibu saya,” kataku sambil menyerahkan kue itu pada Bu Suci.
“Terimakasih Nak, repot-repot,” Bu Suci langsung membawa kue itu ke dapur.
Tampaknya kondisi Bu Suci semakin buruk. Tubuhnya makin kurus. Pakaiannya makin lusuh. Rambutnya makin gimbal saja. Bahkan dia sudah mulai lupa namaku. Aku takut dia juga mulai lupa akan kenangannya dan Arga.
Pyarrr..terdengar suara barang pecah.
“Ibu,” aku dan Arga langsung berlari menuju dapur.
Rupanya tampak beberapa piring dan gelas pecah. Bu Suci terduduk di sudu dapur dan menangis histeris.
“Ibu kenapa?” Arga memeluk Bu Suci.
“Ibu nyari pisau untuk motong  kuenya biar Nak Dinta bisa makan sama kita, tapi Ibu lupa naruh dimana,” Bu Suci mulai tenang.
“Sudah, Bu. Dinta sudah makan kuenya di rumah,” kataku lalu membantu Bu Suci berdiri.
“Ibu istirahat di kamar saja ya,” Arga memapah Bu Suci menuju kamar.
Aku makin prihatin melihat kondisi Bu Suci. Semakin hari semakin buruk. Penyakit Alzheimer susah disembuhkan karena sampai saat ini belum ada obatnya. Namun, aku salut sama Arga. Dia anak yang begitu berbakti. Dia rela merawat ibunya meski ayahnya telah pergi meninggalkan mereka. Ayahnya pergi dengan wanita lain sejak mengetahui  Bu Suci sakit Alzheimer. Sungguh tragis.
***
Hari berikutnya aku datang lagi ke rumah Arga. Kali ini aku takmelihat Bu Suci duduk di teras rumah.
“Assalamu’alaikum,” aku mengetuk pintu.
“Wa’alaikumsalam,” Arga membukakan pintu,”Ayo masuk.”
Aku dan Arga langsung menuju kamar Bu Suci.
“Dinta ya?” Bu Suci menyebutkan namaku.
“Iya Bu,” jawabku.
Tumben Bu Suci mengingat namaku. Biasanya dia selalu lupa. Bahkan dia juga mulai lupa nama Arga. Namanya sendiri pun sudah tak bisa mengingatnya. Alamat, tempat menaruh benda, kenangannya, sedikit sekali yang masih dia ingat. Dia makin lupa hal-hal kecil. Kemampuan melihatnya pun makin berkurang. Bu Suci mudah marah, tersinggung, gelisah, bingung, dan paranoid. Bahkan Bu Suci sudah lupa bagaimana cara makan, mandi, dan berpakaian.
“Ibu, kencing di celana lagi ya,” Arga memeriksa lantai yang telah basah.
“Biar aku bantu,kamu ambil pel saja,” sahutku.
Rasanya aku ingin menangis. Perih sekali. Meski Bu Suci bukan ibuku, aku begitu menyayangi Bu Suci seperti ibuku sendiri.
“Kenapa menangis Nak?” Bu Suci menghapus air mataku.
“Tak apa, Bu,” aku langsung mengusap air mataku.
Arga membawa ember berisi air dan pel. Arga mengepel lantai itu. Aku begitu terharu menyaksikan pemandangan ini.
“Arga, Dinta anak yang baik ya,” Bu Suci tersenyum pada Arga,”Coba jadi pacar kamu.”
“Ibu, apaan sih bilang begitu. Kalau Dinta sudah punya pacar terus marah gimana,” Arga terlihat senyum-senyum sendiri.
“Enggak, Bu. Dinta gak punya pacar kok,” aku langsung salah tingkah.
***
“Gimana kondisi Bu Suci?” Lola sambil makan es krim coklat kesukaannya.
“Makin parah. Bahkan dia sudah lupa cara makan, mandi, berpakaian,” aku menghentikan langkahku lalu duduk di salah satu kursi di taman itu.
“Aku turut prihatin,” Lola  berhenti makan es krim lalu memelukku.
“Orang gila, orang gila, orang gila,” suara anak-anak dari kejauhan.
Aku penasaran. Apa bener ada orang gila di sini. Aku mendekat. Bu Suci rupanya. Bajunya memang dan tampak berantakan tanpa menggunakan alas kaki.
“Aku bukan orang gila,” bentak Bu Suci.
“Adek-adek, ibu ini gak gila. Sekarang adek-adek pergi ya,” aku memberi pengertian.
“Kamu siapa?” Bu Suci kelihatan marah.
“Saya Dinta, Bu,” aku memegang kedua tangan Bu Suci.
“Lepaskan,” Bu Suci memberontak lalu berlari.
“Bu..” teriakku.
Aku dan Lola mengejar Bu Suci. Bu Suci berlari makin cepat seperti orang dikejar anjing. Aku dan Lola tak dapat menghentikannya. Brukk…sebuah truk menabrak Bu Suci.
“Ibu,” terdengar suara Arga dari seberang.
Aku dan Lola mendekat. Tubuh Bu Suci bersimbah darah. Sementara truk yang menabrak Bu Suci langsung kabur.
“Arga, ibu sudah tidak kuat lagi,” kata Bu Suci terbata-bata di pangkuan Arga.
“Ibu harus kuat, Arga akan bawa ibu ke rumah sakit,” Arga menangis.
Belum sempat dibawa ke rumah sakit, Bu Suci sudah menghembuskan nafs terakhir. Arga histeris. Aku dan Lola ikut menangis di samping Arga. Orang di sekitar mendekat dan mulai membantu kami.
***
Hari itu adalah hari pemakaman Bu Suci. Aku melihat Arga masih menangis di samping jasad Bu Suci. Terus terang aku merasa bersalah. Seandainya aku tak mengejar Bu Suci, semua ini takkan terjadi. Aku sangat kehilangan.
“Arga, sudahlah kamu harus mengikhlaskan. Bu Suci pasti sedih kalau melihat kam terus begini,” aku mendekati Arga.
“Din, kamu gak tahu kan rasanya ayah kamu pergi bersama wanita lain. Kamu gak tahu kan kami harus hidup kesepian di atas penderitaan ini. Ibu kamu sehat, gak seperti ibuku yang sakit Alzheimer. Dan ibu kamu masih hidup,” Arga terlihat sangat marah.
“Arga, aku gak maksud gitu,” kataku mulai berlinang air mata.
“Lebih baik kamu pergi,” usir cewek di samping Arga.
“Dinta, sudahlah,” Lola mengajakku menjauh dari Arga.
Aku memang bersalah. Aku telah menghilangkan nyawa orang yang begitu berarti untuk Arga. Aku menghilangkan nyawa Bu Suci yang begitu berarti untuk Arga. Arga benci sama aku. Bahkan ada perempuan lain yang menemani di sampingnya sedari tadi.
Tak lama setelah itu, jenazah Bu Suci dikebumikan di tempat peristirahatan yang terakhir. Aku dan Lola melihat dari kejauhan. Aku tak ingin Arga marah padaku lagi.
***
Satu tahun kemudian
Daun-daun itu menari. Ada keunikan tersendiri saat melihat mereka meninggalkan tangkainya. Bahkan saat mereka jatuh dan tersapu angin, masih tetap indah. Tapi aku sedih, mereka tak lagi hijau, mereka akan layu dan mati. Walau begitu aku masih bisa melihat mereka tersenyum. Seandainya mereka bisa bicara, mungkin mereka akan berterima kasih karena pernah merasa berguna. Jatuh satu, tumbuh yang baru untuk menguatkan yang lain. Aku pun begitu. Saat semangatku hilang, akankah kau menggantikan semangatku? Jika tidak, bolehkah aku berharap?
Sejak pemakaman Bu Suci, aku tak pernah lagi melihat Arga. Tiap kau datang ke rumahnya, selalu sepi. Saat aku mencoba menghubunginya, ponselnya tak pernah aktif. Apa Arga benar-benar marah padaku? Kenapa saat aku mulai sadar akan hati ini? Kenapa saat aku mulai meletakkan hatiku untuknya? Kenapa saat rasa itu terasa menyesakkan dadaku? Aku memang bersalah, tapi apa tak ada maaf untukku. Selama ini aku selalu nyaman sama Arga yang begitu baik dan ramah. Aku sakit melihat Arga marah dan lebih memilih perempuan itu yang menemaninya saat di pemakaman.
 Memang, kau itu angin. Kau menyejukkanku, tapi satu sisi kau meruntuhkan hatiku. Kau ibarat bintang, sinarmu menerangi hatiku. Namun, tak sadarkah kau pesonamu menyilaukan hati yang lain. Mungkin kau juga api, yang membakar semangatku. Lalu kau pun membuatku terbakar cemburu.
“Mbak, hpnya jatuh,” suara seseorang membangunkan lamunanku.
“Arga?” aku kaget.
“Iya, kamu masih sering ke taman ini?” tanyanya.
“Iya, tempat ini adalah kenangan untuk kita, kenangan bersama ibu kamu,” aku mulai meneteskan air mata.
“Jangan menangis, ibu takkan suka melihatmu menangis,” Arga menghapus air mataku.
“Kamu maafin aku?” aku menatapnya dalam.
“Kenapa harus marah? Aku sayang sama kamu, Din. Maukah kau menjadi bintang di hatiku?,” Arga balik menatapku.
“Iya, aku mau,” aku tersenyum.
~The End~




No comments:

Post a Comment