Pesan-pesan
singkat yang sering dia kirim untukku begitu manis dan menyejukkan jiwaku,
meski menurut orang lain tak seindah
itu. Cinta benar-benar membutakan hatiku. Bahkan sebuah ucapan good night pun
bisa membuatku terbang , melayang dibuatnya.
“Heyhey,”
kata yang sering ku tulis untuknya dalam sms.
Dia tak selalu membalas pesanku. Ya,
lelaki mana yang tak bosan bila dikejar wanita terus-menerus. Mungkin akulah
yang terlalu bodoh, urat maluku sudah putus. Entah apa yang membuatku tetap
bertahan menanggapi dia yang cuek.
“Aku heran sama kamu, mau nanggepin orang
cuek kayak aku gini,” tulisnya.
Bagaimana lagi, namanya juga ingin tetap
dekat. Bahkan setiap detik, setiap malam slalu ada bayang Rian dalam mimpiku. Pernah
suatu ketika ku bermimpi menjadi kekasihnya, saat ku terbangun ingin mimpi itu
jadi nyata. Namun, itu hanya angan belaka.
Dia berjanji akan menemuiku tepat saat
ulang tahunku untuk memberi kejutan. Berjam-jam aku menunggunya di taman untuk
sebuah kepastian itu. Tiga jam aku menunggu dan dia tak kunjung datang. Dia tak
menghubungiku dan dia juga tak membatalkan janjinya. Aku terus menunggu hingga
akhirnya aku menyerah. Dia takkan datang.
“Aku kecewa,” tulisku untuknya.
Lama ku tunggu balasan darinya.
“Maaf, aku lupa,” demikian balasnya.
Aku tak bisa marah padanya. Tak ada alasan
untuk marah. Aku memang menganggapnya istimewa di hatiku, tapi hingga saat ini
tak ku temui aku spesial untuknya. Aku hanya bisa mendoakannya disetiap
sujudku. Aku tak mungkin mengharap lebih padanya.
Hari
itu amat menyakitkan untukku. Sekian
lama aku dekat dengannya, ku baru sadar siapa dia. Selama ini dia hanya
memanfaatkanku untuk mendekati Ambar, sahabatku. Rasanya begitu menyesakkan
dada mengetahui orang yang dicinta menaruh hati pada sahabat sendiri.
Sejak
kejadian itu aku menghilang. Aku tak ingin persahabatanku dengan Ambar terputus
begitu saja hanya karena keegoisanku untuk memiliki Rian. Aku memutuskan untuk
pindah keluar kota. Aku tak memberitahukan rencana kepindahanku pada Ambar.
Saat sebelum aku berangkat, Ambar datang ke rumahku. Dia begitu terkejut. Dia memelukku dan meminta maaf.
“Aku mohon, jangan pergi. Maafkan aku,
Ren,” Ambar menangis.
“Ini
bukan salahmu. Aku memang harus melupakan Rian, aku harus pergi. Aku janji akan
sering menjengukmu,” aku melepaskan peluknya.
Air
mataku tak tertahankan lagi. Selama
perjalanan aku menangis. Aku begitu menyesal. Mungkin Ambar lebih merasa
bersalah daripada aku. Aku telah meninggalkan sahabat terbaikku sejak SMP. Aku
juga terpaksa harus pindah SMA dan membiasakan diri di sekolah baru nanti. Padahal
sekarang aku sudah semester 4. Ini begitu berat untukku.
Tahun
telah berlalu. Kini aku telah lulus
kuliah jurusan Manajemen dan resmi menjadi sarjana. Aku lulus dengan nilai
tinggi dan sempat ditawari beberapa pekerjaan, tapi ku tolak. Sampai suatu
ketika, ada perusahaan dari Jogja yang menawariu kerja. Aku langsung
menerimanya. Aku begitu rindu Jogja dengan segala aktivitasnya. Aku ingin
bertemu Ambar dan meminta maaf karena ku tak memenuhi janji untuk
mengunjunginya.
“Selamat pagi semua. Ini Irena, karyawan
baru kita,” Pak Aldi memperkenalkanku saat rapat.
Aku berdiri, ”Mohon bantuannya.”
Seorang lelaki tiba-tiba masuk, “Maaf,
Pak. Saya terlambat.”
Aku sangat terkejut. Dia adalah Rian yang dulu
telah menghancurkan hatiku. Malah sekarang dipertemukan kembali di tempat
kerja. Selama rapat, aku tak memperhatikan Rian. Ku rasa dia juga tak
mengindahkan keberadaanku.
“Ren, tunggu..” panggilnya.
“Iya, ada yang perlu dibicarakan?” tanyaku.
“Ikut aku,” dia menarik tanganku dan
mengajakku ke mobil.
Perasaan itu datang lagi. Perasaan yang
harusnya ku buang jauh-jauh. Entah mengapa aku merasa ini begitu hangat. Aku
memang merindukannya, rindu yang tak seharusnya ku rasakan.
Dia
membawaku ke sebuah rumah sakit. Aku masih bingung kenapa dia membawaku ke
sini. Siapa yang sakit? Lalu apa ada hubungannya denganku? Ternyata ku lihat
tubuh Ambar terbaring lemah tak berdaya. Aku sedih melihatnya.
“Ren,
ini Ambar, isteriku. Dia sakit leukimia sejak 2 tahun lalu,” Rian menjelaskan.
“Ambar,
maafkan aku. Aku tak menetapi janjiku untuk mengunjungimu. Aku juga tak sempat
menghubungimu,” aku menangis memeluk Ambar.
“Rena,
jangan menangis. Ini sudah takdirku. Aku mohon setelah aku perginanti,
menikahlah dengan Rian,” dia menggengam tanganku erat.
“Aku
tak bisa,” kataku.
“Sebenarnya
dulu Rian memang menyukaiku, tetapi saat kau datang ke dalam hidupnya, kau
telah merubah perasaannya. Berawal
untuk mencari informasi tentangku, dia jatuh cinta padamu,” Ambar menceritakan
semua.
Hari itu pemakaman Ambar. Aku tak bisa
menahan air mataku. Kenapa waktu begitu cepat. Selang sehari setelah
pengungkapan rahasia itu, dia pergi. Padahal aku belum sempat menceritakan
semua yang ku alami pada Ambar.
Akhirnya
enam bulan setelah itu, aku dan Rian menikah. Ini memang tak pernah ku
bayangkan sebelumnya. Aku tak menyangka Rian menyimpan rasa padaku. Aku telah
salah menilainya selama ini. Kini, yang dulunya obsesi menjadi nyata. Semua
memang indah pada waktunya.
No comments:
Post a Comment