Sunday, August 11, 2013

OBSESI


Pesan-pesan singkat yang sering dia kirim untukku begitu manis dan menyejukkan jiwaku, meski menurut orang  lain tak seindah itu. Cinta benar-benar membutakan hatiku. Bahkan sebuah ucapan good night pun bisa membuatku terbang , melayang dibuatnya.
“Heyhey,” kata yang sering ku tulis untuknya dalam sms.
Dia tak selalu membalas pesanku. Ya, lelaki mana yang tak bosan bila dikejar wanita terus-menerus. Mungkin akulah yang terlalu bodoh, urat maluku sudah putus. Entah apa yang membuatku tetap bertahan menanggapi dia yang cuek.
“Aku heran sama kamu, mau nanggepin orang cuek kayak aku gini,” tulisnya.
Bagaimana lagi, namanya juga ingin tetap dekat. Bahkan setiap detik, setiap malam slalu ada bayang Rian dalam mimpiku. Pernah suatu ketika ku bermimpi menjadi kekasihnya, saat ku terbangun ingin mimpi itu jadi nyata. Namun, itu hanya angan belaka.
Dia berjanji akan menemuiku tepat saat ulang tahunku untuk memberi kejutan. Berjam-jam aku menunggunya di taman untuk sebuah kepastian itu. Tiga jam aku menunggu dan dia tak kunjung datang. Dia tak menghubungiku dan dia juga tak membatalkan janjinya. Aku terus menunggu hingga akhirnya aku menyerah. Dia takkan datang.
“Aku kecewa,” tulisku untuknya.
Lama ku tunggu balasan darinya.
“Maaf, aku lupa,” demikian balasnya.
Aku tak bisa marah padanya. Tak ada alasan untuk marah. Aku memang menganggapnya istimewa di hatiku, tapi hingga saat ini tak ku temui aku spesial untuknya. Aku hanya bisa mendoakannya disetiap sujudku. Aku tak mungkin mengharap lebih padanya.
Hari itu amat menyakitkan untukku. Sekian lama aku dekat dengannya, ku baru sadar siapa dia. Selama ini dia hanya memanfaatkanku untuk mendekati Ambar, sahabatku. Rasanya begitu menyesakkan dada mengetahui orang yang dicinta menaruh hati pada sahabat sendiri.
Sejak kejadian itu aku menghilang. Aku tak ingin persahabatanku dengan Ambar terputus begitu saja hanya karena keegoisanku untuk memiliki Rian. Aku memutuskan untuk pindah keluar kota. Aku tak memberitahukan rencana kepindahanku pada Ambar. Saat sebelum aku berangkat, Ambar datang ke rumahku. Dia begitu terkejut. Dia memelukku dan meminta maaf.
“Aku mohon, jangan pergi. Maafkan aku, Ren,” Ambar menangis.
“Ini bukan salahmu. Aku memang harus melupakan Rian, aku harus pergi. Aku janji akan sering menjengukmu,” aku melepaskan peluknya.
Air mataku tak tertahankan lagi. Selama perjalanan aku menangis. Aku begitu menyesal. Mungkin Ambar lebih merasa bersalah daripada aku. Aku telah meninggalkan sahabat terbaikku sejak SMP. Aku juga terpaksa harus pindah SMA dan membiasakan diri di sekolah baru nanti. Padahal sekarang aku sudah semester 4. Ini begitu berat untukku.
Tahun telah berlalu. Kini aku telah lulus kuliah jurusan Manajemen dan resmi menjadi sarjana. Aku lulus dengan nilai tinggi dan sempat ditawari beberapa pekerjaan, tapi ku tolak. Sampai suatu ketika, ada perusahaan dari Jogja yang menawariu kerja. Aku langsung menerimanya. Aku begitu rindu Jogja dengan segala aktivitasnya. Aku ingin bertemu Ambar dan meminta maaf karena ku tak memenuhi janji untuk mengunjunginya.
“Selamat pagi semua. Ini Irena, karyawan baru kita,” Pak Aldi memperkenalkanku saat rapat.
Aku berdiri, ”Mohon bantuannya.”
Seorang lelaki tiba-tiba masuk, “Maaf, Pak. Saya terlambat.”
Aku sangat terkejut. Dia adalah Rian yang dulu telah menghancurkan hatiku. Malah sekarang dipertemukan kembali di tempat kerja. Selama rapat, aku tak memperhatikan Rian. Ku rasa dia juga tak mengindahkan keberadaanku.
“Ren, tunggu..” panggilnya.
“Iya, ada yang perlu dibicarakan?” tanyaku.
“Ikut aku,” dia menarik tanganku dan mengajakku ke mobil.
Perasaan itu datang lagi. Perasaan yang harusnya ku buang jauh-jauh. Entah mengapa aku merasa ini begitu hangat. Aku memang merindukannya, rindu yang tak seharusnya ku rasakan.
Dia membawaku ke sebuah rumah sakit. Aku masih bingung kenapa dia membawaku ke sini. Siapa yang sakit? Lalu apa ada hubungannya denganku? Ternyata ku lihat tubuh Ambar terbaring lemah tak berdaya. Aku sedih melihatnya.
“Ren, ini Ambar, isteriku. Dia sakit leukimia sejak 2 tahun lalu,” Rian menjelaskan.
“Ambar, maafkan aku. Aku tak menetapi janjiku untuk mengunjungimu. Aku juga tak sempat menghubungimu,” aku menangis memeluk Ambar.
“Rena, jangan menangis. Ini sudah takdirku. Aku mohon setelah aku perginanti, menikahlah dengan Rian,” dia menggengam tanganku erat.
“Aku tak bisa,” kataku.
“Sebenarnya dulu Rian memang menyukaiku, tetapi saat kau datang ke dalam hidupnya, kau telah merubah perasaannya. Berawal untuk mencari informasi tentangku, dia jatuh cinta padamu,” Ambar menceritakan semua.
Hari itu pemakaman Ambar. Aku tak bisa menahan air mataku. Kenapa waktu begitu cepat. Selang sehari setelah pengungkapan rahasia itu, dia pergi. Padahal aku belum sempat menceritakan semua yang ku alami pada Ambar.
Akhirnya enam bulan setelah itu, aku dan Rian menikah. Ini memang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Aku tak menyangka Rian menyimpan rasa padaku. Aku telah salah menilainya selama ini. Kini, yang dulunya obsesi menjadi nyata. Semua memang indah pada waktunya.




No comments:

Post a Comment