Komunikasi
merupakan hal penting dalam interaksi. Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan pemenuhan kebutuhan
untuk berinteraksi dengan makhluk
lainnya. Anitah (1990:3) menjelaskan komunikasi sebagai proses
penyampaian gagasan dari seseorang kepada orang lain. Keberhasilan proses penyampaian itu terletak pada penguasaan
materi/fakta dan pengaturan cara-cara penyampaiannya.
Unsur-unsur komunikasi (Lusiana, 2002), yaitu sebagai
berikut:
1.
Sumber, merupakan orang yang mempunyai kebutuhan untuk
berkomunikasi, yakni keinginan untuk
membagi keadaan internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun informasional dengan orang lain. Kebutuhan ini bisa berupa keinginan
untuk memperoleh pengakuan sosial sampai pada keinginan untuk mempengaruhi sikap
dan tingkah laku orang lain.
2.
Meng-encode, karena keadaan internal tidak bisa dibagi
bersama secara langsung, maka diperlukan simbol-simbol yang mewakili. Encoding
adalah suatu aktivitas internal pada
sumber dalam menciptakan pesan melalui pemilihan pada simbol-simbol verbal,
yang disusun berdasarkan aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis yang berlaku
pada bahasa yang digunakan.
3.
Pesan, merupakan hasil encoding. Pesan adalah seperangkat
simbol-simbol verbal yang mewakili keadaan khusus sumber pada satu dan tempat
tertentu.
4.
Saluran, merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari
sumber ke penerima atau yang menghubungkan orang ke orang lain secara umum.
5.
Penerima, adalah orang-orang yang menerima pesan dan
terhubungkan dengan sumber pesan. Penerima bisa orang yang dimaksud oleh sumber
atau orang lain yang kebetulan
mendapatkan kontak juga dengan pesan yang dilepaskan oleh sumber dan
memasuki saluran.
6.
Men-decode, decoding merupakan kegiatan internal dari
penerima. Melalui indera, penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk
mentah, yang harus diubah
ke dalam pengalaman-pengalaman yang mengandung makna.
7.
Respon penerima, yakni apa yang telah diputuskan oleh
penerima untuk dilakukan terhadap pesan.
Respon dapat bervariasi sepanjang dimensi minimum sampai maksimum.
8.
Balikan (feedback), merupakan informasi bagi sumber
sehingga dapat menilai efektivitas komunikasi untuk selanjutnya menyesuaikan
diri dengan situasi yang ada.
9.
Gangguan (noise), gangguan beranekaragam, untuk itu harus
didefinisikan dan dianalisis. Noise dapat masuk ke dalam sistem komunikasi
manapun yang merupakan apa saja yang
mengganggu atau membuat kacau penyampaian pesan, termasuk yang bersifat fisik
atau psikis.
10.
Bidang pengalaman, komunikasi dapat terjadi sejauh para
pelaku memiliki pengalaman-pengalaman yang sama. Perbedaan dapat mengakibatkan
komunikasi menjadi sulit, tetapi
walaupun perbedaan tidak dapat dihilangkan bukan berarti komunikasi tidak ada
harapan untuk terjadi.
Komunikasi berlangsung secara verbal dan non verbal. Menurut
Widjaja dan Wahab (1989:51) komunikasi verbal adalah komunikasi yang
menggunakan kata-kata dan tulisan-tulisan. Menurut Alo Liliweri (2011:378)
menjelaskan komunikasi verbal berupa gerakan-gerakan verbal yang berupa; (a)
pengucapan: Bahasa yang diucapakan secara jelas, benar dan tepat, (b) kejelasan materi berkaitan
dengan kepadatan isi dan kelengkapan, (c) kosakata: pembicaraan yang baik
selalu banyak persedian kata, kata-kata tersebut tidak berulang kali diucapkan.
Dalam melakukan komunikasi verbal terdapat dua
persyaratan yang harus dipenuhi yaitu:
(1) diamati oleh orang lain, (2) menimbulkan makna bagi orang lain. Hasil
kegiatan komunikasi verbal adalah
pesan-pesan secara lisan (Lusiana, 2002).
Bahasa merupakan salah satu media yang digunakan manusia
dalam berkomunikasi. Dalam Rakhmat (2009:268) ada dua cara untuk mendifinisikan
bahasa: fungsional dan formal. Definisi
fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan
sebagai “alat yang dimiliki bersama untuk
mengungkapkan gagasan” (sosially shared means for expressing ideas). Definisi
formal menyatakan bahasa sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat
dibuat menurut peraturan tata bahasa.
Soepomo (1988) menyatakan adanya 8 petunjuk agar
pembicaraan seseorang dikatakan memiliki sopan santun dengan memperhatikan: (1)
dengan siapa berbicara, (2) berikan perhatian kepada lawan bicara, (3)
pengendalian emosi, (4) menerapkan prinsip empan papan, (5) pertimbangkan
tempat danwaktu, (6) gunakan ragam bahasa yang tepat, (7) gunakan jenis suara
yang tidak kasar, (8) hindarilah kata-kata tabu. Sementara itu, Nababan (1982)
menyatakan sopan santun ditandai oleh kemampuan seseorang untuk mampu memahami
dan menerapkan konvensi: (1) kapan harus berbicara, (2) kapan harus diam, (3)
kapan harus menyela pembicaraan, dan (4) dengan ragam apakah harus menyatakan
sesuatu.
Kemampuan berkomunikasi verbal berarti kemampuan siswa
menyampaikan pesan kepada pendengar untuk direspon secara lisan. Agar respon
sesuai dengan harapan, maka digunakan
bahasa yang baik, benar, dan mudah dipahami oleh pendengar. Dalam berkomunikasi
memiliki beberapa aturan. Aturan berkomunikasi ini dapat dilihat dari sisi
pendengar, gaya bahasa, dan penggunaan kosa kata. Komunikasi verbal dilakukan menggunakan
Bahasa Indonesia yang baku, dan benar.
Salah satu aspek penting dalam komunikasi verbal adalah
keterampilan berbicara. Berbicara adalah bentuk komunikasi verbal yang
dilakukan menggunakan pikiran dan logika. Perubahan penggunaan Bahasa Indonesia
yang baik dan benar secara lisan telah banyak terjadi di kalangan remaja di tingkat
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Perubahan ini terjadi pada penggunaan kata,
frase, klausa, maupun kalimat. Perubahan penggunaan bahasa pada siswa SMP sering dikenal dengan
penggunaan bahasa prokem/bahasa gaul. Prokem (pigeon language) adalah varian bahasa
yang diakibatkan oleh usia perkembangan atau pencarian identitas diri, dan
biasa terjadi pada kalangan remaja
dengan cara memanipulasi bahasa. Standar (baku) dengan bahasa yang
diciptakan baru. Bahasa ciptaan itu awalnya terbatas penggunaannya, namun itu
biasa berkembang menjadi bahasa
masyarakat.
Dalam hal ini, komunikasi verbal siswa kepada guru sangat
rendah dan jauh dari etika sopan santun. Misalnya saat siswa berbicara kepada
guru seenaknya saja, tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan baik, dan
tidak mempertimbangkan aspek sopan santun. Banyak ditemui gaya berbicara siswa
kepada guru yang seperti gaya berbicara siswa kepada teman sebaya karena merasa
sudah sangat akrab dengan guru. Hal ini tentunya akan mengurangi rasa hormat
kepada guru tersebut. Selain itu, penggunaan bahasa gaul saat berkomunikasi
dengan guru misalnya menggunakan kata gue, elo, pd, geer, jadul, dan lain-lain.
Untuk membangun sikap sopan santun siswa, dapat melalui teori
belajar kognitif Albert Bandura yang menekankan pada pembelajaran melalui model
(modelling). Menurut Nursalim (2007:58) tingkah laku manusia lebih
banyak dipelajari melalui modeling atau imitasi daripada melalui pengajaran
langsung. Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai
seorang model atau tokoh bagi anak-anak untuk menirukan gaya berbicara.
Cara untuk membangun sopan santun dalam berkomunikasi
verbal dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
1.
Keteladanan
Saat harus berbicara dengan santun baik kepada guru, karyawan
dan siswa lain. Siswa diusahakan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik, apabila
tidak bisa menggunakan Bahasa Indonesia, maka menggunakan Bahasa Jawa yang sopan
dan dengan logat yang halus, tidak dengan nada kasar. Selain itu, saling
menghormati antara teman yang lebih tua misalnya kakak kelas. Siswa harus tau
dia berbicara dengan siapa, misalnya berbicara dengan teman jangan disamakan
dengan berbicara dengan bapak/ibu guru
“Aku Pak”, bisa diganti dengan “Saya Pak”.
2.
Pembiasaan
Saat bertemu guru atau siswa lain, hendaknya dibiasakan
senyum, menyapa, mengucapkan salam dan menjabat tangan guru. Apabila ada yang
fanatis terhadap agama tertentu, tidak menjabat tangan tidak apa-apa tetapi
mengucapakan salam.
3.
Pengkondisian
Bila ada siswa yang berbicara kurang sopan, hendaknya guru
memberikan peringatan kepada siswa tersebut. Jika sudah kelewatan, siswa
tersebut dapat dikenai sanksi agar tidak melakukannya lagi. Saat ada teman yang
berbicara kurang pas, sebaiknya saling mengingatkan. Dalam lingkungan sekolah
harus diciptakan kondisi saling mengingatkan tentang komunikasi yang baik agar
tercipta budaya sopan santun.
Anitah.
1990. Strategi Belajar. Jakarta : Karunika UT.
Liliweri,
Alo. 2011. Kominikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.
Lusiana.
2002. Penerapan Komunikasi Lintas Budaya di Antara Perbedaan Budaya. Tesis.
Universitas Sumatera Utara : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan
Ilmu Komunikasi.
Nursalim, Mochamad, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan.
Surabaya: Unesa University Press.
No comments:
Post a Comment