1. Pengertian
Teori Belajar Kognitif
Secara bahasa, kognitif
berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya berfikir (Fauziah
Nasution, 2011:17). Psikologi kognitif mengakui otak menjalankan fungsi
utama, yaitu berpikir. Psikologi kognitif adalah cabang psikologi yang
mempelajari proses mental termasuk bagaimana orang berfikir, merasakan,
mengingat dan belajar. Bidang psikologi kognitif sangat luas, tetapi umumnya
dimulai dengan melihat bagaimana masukan sensori berubah menjadi keyakinan dan tindakan
melalui proses kognisi.
Teori belajar
kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi
dalam akal pikiran manusia. Seperti diungkapkan oleh Winkel (1996:53) bahwa “Belajar
adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi
aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan
pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif
dan berbekas”.
Sugihartono,
dkk (2013:104), mengungkapkan pendekatan psikologi kognitif menekankan arti
penting proses internal mental manusia. Tingkah laku manusia yang tampak, tidak
dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental. Semua bentuk
perilaku termasuk belajar selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan
mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Setiap orang
telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya. Pengalaman dan
pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini,
proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru
beradaptasi (bersinambung) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif
yang telah dimiliki siswa. Jadi, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang
individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
Proses ini tidak berjalan dengan sepotong-sepotong atau terpisah-pisah,
melainkan melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung dan menyeluruh.
Misalnya: ketika sesorang membaca suatu bahan bacaan, maka yang dibacanya bukan
huruf-huruf yang terpisah-pisah melainkan kata, kalimat, atau paragraf yang
kesemuanya diolah menjadi satu, mengalir, dan menyerbu secara total bersamaan
(Sugihartono, 2013:105).
Dalam teori ini
ada dua bidang kajian yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajar, yaitu:
a. Belajar tidak sekedar melibatkan stimulus dan respon
tetapi juga melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks (Budiningsih,
2005:34).
b. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui
proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Menurut psikologi
kognitivistik, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti sesuatu
dengan jalan mengaitkan pengetahuan baru ke dalam struktur berfikir yang sudah
ada. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat berupa
mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati
lingkungan, mempraktekkan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Sehingga, pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukkan keberhasilan
mempelajari informasi pengetahuan yang baru (Muhaimin, dkk, 2002:198).
2. Teori
Gestalt
Secara verbal, Gestalt berarti pola, susunan
(konfigurasi), menyeluruh atau bentuk pemahaman atau situasi perangsangnya.
Konfigurasi atau gestalt akan kehilangan
sesuatu kalau dipisahkan menjadi bagian-bagian komponennya, karena setiap situasi atau pengalaman itu lebih dari
jumlah semua bagiannya.
Max Wertheimer, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka adalah
tiga serangkai pendiri Teori Gestalt.
Ketiganya ternyata memiliki akar sejarah yang sama sampai akhirnya mampu menyatukan gagasan sehingga
menjadi sebuah gerakan yang kemudian disebut
Gestalt. Namun demikian, Max Wertheimer diakui sebagai pemimpin yang paling terkenal, sementara
Koffka dan Kohler adalah yang paling
bertanggung jawab dalam mempopulerkan gerakan Gestalt melalui
tulisan-tulisannya. Karena kedekatan diantara ketiganya, sampai-sampai gagasan
dan teori-teori Koffka, Kohler dan Wertheimer hampir tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan mereka bertiga. Ketiganya
adalah sarjana dari Universitas Berlin. Karena itu mereka menjadi terkenal sebagai ”Kelompok Berlin”. Max Wertheimer meneliti persepsi yang
terintregasi dalam gerak, Wolfgang
Kohler yang meneliti tentang insight pada simpanse dan Kurt Koffka yang menguraikan secara rinci mengenai
hukum-hukum persepsi. Mereka tidak hanya
bekerja bersama, bahkan mereka menyatukan keyakinan dalam melakukan perlawanan terhadap behaviorisme. Hal ini
bukanlah kebetulan bahwa buku Kohler pada tahun 1929, “Gestalt Psychology”,
didedikasikan untuk Wertheimer, dan buku
Koffka tahun 1935 “Principles of Gestalt Psychology”,
melahirkan persembahan untuk Wolfgang
Kohler dan Max Wertheimer sebagai terima kasih untuk persahabatan dan inspirasinya
(Guy R. Lefrancois, 1995:171).
a.
Max Wertheimer
(1880-1943)
Dalam
perjalanan liburan di awal karirnya sambil naik kereta api, Wertheimer melihat
sinar berkedip-kedip (hidup dan mati) dengan jarak tertentu, sinar itu memberi
kesan sebagai satu sinar yang bergerak datang dan pergi tidak putus-putus. Dari
kejadian tersebut Wertheimer memperoleh gagasan untuk satu eksperimen yang paling penting darinya. Ia mulai
mengerjakan teka-teki yang menjadi titik
awal memunculkan serangkaian khayalan-khayalan gerakannya. Jika mata
melihat perangsang dengan cara tertentu, akan memberikan ilusi gerakan.
Wertheimer menyebut gejala ini dengan
istilah Phi Phenomenon (Guy R. Lefrancois, 1995:172).
Pada
tahun 1910, Max Wertheimer memperlihatkan ketertarikannya untuk meneliti tentang persepsi setelah ia melihat sebuah
alat yang disebut "stroboscope" (benda berbentuk kotak yang diberi alat untuk
melihat ke dalam kotak tersebut) di toko
mainan anak-anak. Setelah melakukan beberapa penelitian dengan alat
tersebut, dia mengembangkan teori
tentang persepsi yang sering disebut dengan teori Gestalt.
Eksperimen
Max Wertheimer mengenai Scheinbewegung (gerak semu) memberikan kesimpulan bahwa pengamatan
mengandung hal yang melebihi jumlah unsur-unsurnya. Inilah gejala gestalt.
b.
Wolfgang Kohler
(1887-1959)
Kohler
mempelajari perilaku simpanse dan ayam. Hasil investigasinya kemudian diterbitkan dalam sebuah bukunya, “The Mentality of Apes” (1924) yang memuat tentang eksperimentasinya mengenai
simpanse dan ayam untuk mengetes
berbagai masalah yang berkaitan dengan belajar. Kohler menggunakan
sejumlah rangkaian eksperimen, yaitu:
1) Detour Problem
Dalam
Detour Problem, binatang dapat melihat makanan sebagai tujuan, tetapi
tidak dapat mencapai secara langsung. Ia harus putar jalan melalui jalan samping yang lebih jauh, tidak langsung,
untuk mencapai pemecahan, sedang simpanse relatif lebih mudah. Binatang yang
lebih tinggi tingkatannya, akan lebih
cepat dalam memecahkan problem. Proses
menguasai medan dan mengetahui hubungan lebih cepat (B.R. Hergenhann &
Mettew H. Olson, 1997:261).
2) Percobaan
dengan simpanse
Dalam eksperimentasinya, ia menyimpulkan ada kera yang
cerdas dan ada pula kera yang bodoh.
Kera yang bodoh, nampak hanya belajar dengan asosiasi dan pengulangan, sambil melakukan perilaku
berulang-ulang. Sebaliknya, simpanse
yang cerdas, menurut Kohler bisa belajar sangat banyak seperti apa yang
manusia lakukan, bisa mempertunjukkan sesuatu dan kadangkala memperlihatkan
kemampuan proses mental yang lebih tinggi. Kohler menggunakan dua
jenis studi untuk mempelajari perilaku problem solving simpanse di dalam
kandang. Terhadap dua jenis studinya, yang pertama seekor simpanse harus menemukan solusi untuk meraih
seiris pisang yang diletakkan di sisi
luar kandang. Dalam studinya, ada problem ”tongkat”, dan seekor simpanse harus
menggunakan tongkat panjang untuk mencapai seiris pisang, dalam banyak kasus hal itu perlu untuk menggabungkan
beberapa tongkat secara bersama-sama
sehingga bisa mencapai pisang. Yang kedua, ada problem ”kotak”, dalam
hal ini simpanse harus memindahkan kotak itu dibawah pisang atau menumpuk satu
kotak di atas yang lain untuk mencapai pisang. Dari eksperimen inilah Kohler menemukan catatan penting
bahwa inteligensi simpanse bukan belajar dengan trial and error. Menurut
Kohler simpanse seperti manusia yaitu mampu memecahkan masalah sekaligus dengan
proses integrasi atau pemahaman. Pemahaman ini yang diperlihatkan oleh simpanse
barulah muncul setelah beberapa saat
mencoba memahami masalahnya, dan pada saat itu pula muncul dengan tiba-tiba
kejelasan, melihat hubungan-hubungannya, antara unsur yang satu dengan yang
lain. Dan pemahaman yang serupa itu – yang datang dengan tiba-tiba oleh Kohler
disebut ”Aha Erlebnis”. Proses pelibatan dalam serangkaian solusi ini
adalah pengetahuan (B.R. Hergenhann & Mettew H. Olson, 1997:262-264).
3) Percobaan
dengan ayam
Ayam
dilatih untuk mendekati warna kertas yang agak gelap dan tidak mendekati warna
terang. Setelah dilatih secukupnya, bila ayam diberi pilihan untuk memilih
terang dan agak gelap, ayam akan memilih gelap (karena hasil latihan). Periode berikutnya,
bila ayam diberi pilihan untuk memilih yang agak gelap dengan gelap, maka ayam akan memilih
mendekati gelap (tidak memilih yang agak gelap seperti dilatihkan) (B.R.
Hergenhann & Mettew H. Olson, 1997:266).
c.
Kurt Koffka
(1886-1941)
Teori Koffka tentang belajar antara lain:
1)
Jejak ingatan
(memory traces), adalah suatu pengalaman yang membekas di otak. Jejak-jejak
ingatan ini diorganisasikan secara sistematis mengikuti prinsip-prinsip Gestalt
dan akan muncul kembali kalau kita mempersepsikan sesuatu yang serupa dengan
jejak-jejak ingatan tadi.
2)
Perjalanan
waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan. Perjalanan waktu itu tidak dapat
melemahkan, melainkan menyebabkan terjadinya perubahan jejak, karena jejak
tersebut cenderung diperhalus dan disempurnakan untuk mendapat Gestalt yang lebih
baik dalam ingatan.
3)
Latihan yang terus menerus akan memperkuat jejak ingatan.
Esensi dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pikiran
(mind) adalah usaha-usaha untuk mengintepretasikan sensasi dan
pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang terorganisir
berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang
terpisah-pisah. Para pengikut gestalt berpendapat bahwa
sensasi atau informasi harus dipandang secara menyeluruh, karena bila
dipersepsi secara terpisah atau bagian demi bagian maka strukturnya tidak
jelas. Penemuan struktur terhadap sensasi atau informasi diperlukan untuk dapat
memahaminya dengan tepat kemudian menyusun kembali informasi sehingga membentuk
struktur baru menjadi lebih sederhana (Sugihartono, dkk, 2013:105-106).
Dalam belajar,
menurut teori gestalt, yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu
mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting bukan
mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight.
Menurut Sugihartono (2013:105), Insight yaitu
pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian di
dalam suatu situasi permasalahan. Sifat khas dari belajar dengan
insight (Sumadi Suryabrata, 2004:278) adalah sebagai
berikut:
a. Insight itu dipengaruhi oleh kemampuan dasar.
Kemampuan dasar itu berbeda-beda dari individu yang satu ke individu yang
lain. Pada umumnya anak yang masih sangat muda sukar untuk belajar dengan insight
ini.
b.
Insight
itu dipengaruhi oleh pengalaman belajar masa lampau yang relevan.
Walaupun insight itu tergantung kepada pengalaman
masa lampau yang relevan, namun memiliki pengalaman masa lampau tersebut belum
menjamin dapatnya memecahkan masalah. Jadi misalnya anak tidak dapat
mengerjakan problem aljabar, kalau dia belum tahu menggunakan simbol-simbol
dalam aljabar tersebut terlebih dahulu (dari masa lampau), tetapi anak yang telah menguasai
simbol-simbol tersebut serta mengetahui cara-cara pemecahan problem dalam
aljabar belum tentu dapat memecahkan problem tersebut. Di sinilah letak
perbedaan antara teori Gestalt dengan teori assosiasi yang beranggapan bahwa
hanya memiliki pengalaman masa lampau yang diperlukan seseorang akan dapat
memecahkan problem, sebab pemecahan-pemecahan problem berarti penerapan
operation-operation yang telah dipelajari.
c. Insight tergantung kepada pengaturan secara eksperimental.
Insight itu hanya mungkin terjadi
apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa sehingga segala aspek yang perlu
dapat diambil. Apabila alat yang diperlukan untuk pemecahan problem itu dapat
dibuat seakan-akan menjadi tidak mungkin, maka problem menjadi lebih sukar.
d.
Insight
itu didahului oleh suatu periode mencoba-coba.
Insight
bukanlah hal yang dapat jatuh dari langit dengan sendirinya, melainkan ada hal yang
harus dicari. Sebelum dapat memperoleh insight orang harus sudah
meninjau problemnya dari berbagai arah dan mencoba-coba memecahkan.
e. Belajar dengan insight
itu dapat diulangi.
Jika sesuatu problem yang telah dipecahkan dengan insight lain kali
diberikan lagi kepada pelajar yang bersangkutan, maka dia akan dengan langsung
dapat memecahkan problem itu lagi.
f.
Insight yang telah sekali
didapatkan dapat dipergunakan untuk menghadapi situasi-situasi yang baru.
Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam
situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Dengan
demikian tingkah laku seseorang bergantung kepada insight terhadap
hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi. Keseluruhan adalah lebih
dari bagian-bagiannya dengan penekanan pada organisasi pengamatan atau stimuli
di dalam lingkungan serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan
(Soemanto, 1998). Untuk lebih memahami uraian di atas, perhatikan ilustrasi
pada Gambar 1.
Gambar
Konvigurasi Titik (Resnick & Ford, 1981:130)
Pada setiap gambar di atas terdapat bundaran kosong
menunjukkan posisi yang berbeda sesuai dengn konteks (organisasi perseptual).
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan gestalt seseorang
yang memperhatikan konfigurasi titik (bulatan) yang terdapat pada setiap gambar
(a) sampai (d) tidak hanya sebagai kumpulan titik-titik yang terpisah, tetapi
titik itu terorganisir berdasarkan prinsip tertentu. Dengan demikian, orang
akan memahami setiap gambar itu sebagai kumpulan titik yang secara keseluruhan
membentuk; (a) layang layang (diamond), (b) segiempat, (c) segitiga, dan (d)
segienam (Sugihartono, dkk, 2013:106-107).
Jadi, menurut pandangan psikologi gestalt dapat
disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau
informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunnya
kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami
(Sugihartono, dkk, 2013:107).
3. Teori
Konstruktivistik
Teori
Konstruktivistik merupakan pengembangan lebih lanjut dari gestalt. Perbedaannya
: pada gestalt – permasalahan yang dimunculkan berasal dari pancingan eksternal
sedangkan pada konstruktivistik – permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan
yang direkonstruksi sendiri oleh siswa. Teori ini sangat percaya bahwa siswa
mampu mencari sendiri masalah, menyusun sendiri pengetahuannya melalui
kemampuan berpikir dan tantangan yang dihadapinya, menyelesaikan dan membuat
konsep mengenai keseluruhan pengalaman realistik dan teori dalam suatu bangunan
utuh (Sugihartono, dkk, 2013:107).
a.
John Dewey
(1856-1952)
Sebagai
filosof dan banyak menulis mengenai pendidikan, John Dewey dikenal sebagai
Bapak Konstruktivisme. Idenya digunakan sebagai dasar metode konstruktivisme
dan Discovery Learning. Ia mengemukakan bahwa belajar tergantung pada
pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling
terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar
harus bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada siswa (SCL= Student-Centered
Learning) dalam konteks pengalaman sosial (Sugihartono, dkk, 2013:108).
Kesadaran sosial menjadi tujuan dari semua pendidikan. Belajar
membutuhkan keterlibatan siswa dan kerjasama tim dalam mengerjakan tugas. Guru
bertindak sebagai fasilitator, mengambil bagian sebagai anggota kelompok dan
diadakan kegiatan diskusi dan review teman. Dewey juga menyarankan penggunaan
media teknologi sebagai sarana belajar. Konsep-konsep Dewey ini sudah banyak
dipakai di Indonesia terutama untuk pembelajaran di perguruan tinggi
(Sugihartono, dkk, 2013:108).
b.
Jean Piaget (1896-1980)
Menurut Piaget, pengamatan sangat penting dan menjadi
dasar dalam menuntun proses berpikir anak, berbeda dengan perbuatan melihat
yang hanya melibatkan mata, pengamatan melibatkan seluruh indra, menyimpan
kesan yang lebih lama dan menimbulkan sensasi yang membekas pada siswa. Oleh
karena itu didalam belajar diupayakan siswa harus mengalami sendiri dan
terlibat langsung secara realistik dengan obyek yang dipelajarinya. Belajar
harus bersifat aktif dan sosial (Sugihartono, dkk, 2013 : 109).
Menurut Piaget aspek perkembangan kognitif meliputi empat tahap (Muhibbin Syah, 2003:26), yaitu :
1) Sensory-motor
(sensori-motor) (0-2 tahun)
Selama
perkembangan dalam periode ini berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2
tahun, intelegensi yang dimiliki anak tersebut masih berbentuk primitif dalam
arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Meskipun primitif dan terkesan
tidak penting, intelegensi sensori-motor sesungguhnya merupakan intelegensi
dasar yang amat berarti karena ia menjadi pondasi untuk tipe-tipe intelegensi
tertentu yang akan dimiliki anak tersebut kelak.
Tahap
sensorimotorik terbagi 6 periode, yaitu :
a) Periode 1: refleks (0 – 1 bulan)
b) Periode 2: kebiasaan (1 – 4 bulan)
c) Periode 3: reproduksi (4 – 8 bulan)
d) Periode 4: koordinasi skemata (8 – 12 bulan)
e) Periode 5: eksperimen (12 – 18 bulan)
f) Periode 6: representasi (18 – 24 bulan)
2) Pre
operational (praoperasional) (2-7 tahun)
Adanya fungsi
semiotik (simbol) saat umur2-4 tahun, berkembangnya pemikiran intuitif saat
umur 4-7 tahun dan telah memiliki
penguasaan sempurna mengenai objek permanen, artinya anak tersebut sudah
memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang ada atau biasa ada,
walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat dan tak
didengar lagi. Jadi, pandangan terhadap
eksistensi benda tersebut berbeda dari pandangan pada periode sensori-motor,
yakni tidak lagi bergantung pada pengamatan belaka.
3) Concrete
operational (operasional konkret)
(7-11 tahun)
Dalam periode
konkret operasional ini belangsung hingga usia menjelang remaja, kemudian anak
mulai memperoleh tamnbahan kemampuan yang disebut system of operations
(satuan langkah berfikir). Kemampuan ini berfaedah bagi anak untuk
mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu dalam sistem
pemikirannya sendiri.
4) Formal
operational (operasional formal)
(11-15 tahun)
Dalam perkembangan
formal operasional, anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak masa remaja,
yakni usia 11-15 tahun, akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran.
Dalam perkembangan kognitif akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan
mengkoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam
kemampuan kognitif, yakni:
a) kapasitas menggunakan
hipotesis
b)
kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak
Dalam dua macam kemampuan kognitif yang sangat berpengaruh terhadap
kualiatas skema kognitif itu tentu telah dimiliki oleh orang-orang dewasa. Oleh
karenanya, seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses
perkembangan formal operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai
dewasa.
Menurut
Piaget, pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata
(jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan
skemata itu seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga
terbentuk skemata yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Skemata yang terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi
itulah yang disebut pengetahuan. Proses belajar sesungguhnya terdiri dari 3
tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi
(penyeimbangan) (Sugihartono, 2013:109-110).
1) Asimilasi
Asimilasi
merupakan proses penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke struktur
kognitif yang telah ada ke dalam benak siswa. Suatu informasi (pengetahuan)
baru dikenalkan kepada seseorang dan pengetahuan itu cocok dengan skema/skemata
(struktur kognitif) yang telah dimilikinya maka pengetahuan itu akan diadaptasi
sehingga terbentuklah pengetahuan baru. Proses ini merefleksikan perubahan
kuantitatif pada skema disebut sebagai pertumbuhan (growth). Contoh :
seorang siswa yang mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya
memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadilah proses pengintegrasian antara
prinsip penjumlahan (yang sudah ada dipahami oleh anak) dengan prinsip
perkalian (informasi baru yang akan dipahami anak).
2)
Akomodasi
Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif pada
situasi yang baru. Proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai akibat
adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung
diasimilasikan pada skemata tersebut. Hal itu, dikarenakan informasi baru
tersebut agak berbeda atau sama sekali tidak cocok dengan skemata yang telah
ada. Jika informasi baru, betul-betul tidak cocok dengan skemata lama, maka
akan dibentuk skemata baru yang cocok dengan informasi itu. Sebaliknya, apabila
informasi baru itu hanya kurang sesuai dengan skemata yang telah ada, maka
skemata yang lama itu akan direstrukturisasi sehingga cocok dengan informasi
baru itu. Pada akomodasi terjadi proses belajar yag baru dan merefleksikan
perubahan kualitatif pada skemata yang disebut perkembangan (development).
Contohnya : siswa ditelah mengetahui prinsip perkalian dan gurunya memberikan
sebuah soal perkalian.
3)
Disequilibrium dan Equilibrium
Disequilibrium dan Equilibrium yaitu penyesuaian berkesinambungan
antara asimilasi dan akomodasi. Proses akomodasi dimulai ketika pengetahuan
baru yang dikenalkan itu tidak cocok dengan struktur kognitif yang sudah ada
maka akan terjadi disequilibrium, kemudian struktur kognitif tersebut
direstrukturisasi kembali agar dapat sesuai dengan pengetahuan baru atau
terjadi equilibrium, sehingga pengetahuan baru itu dapat diakomodasi dan
selanjutnya diasimilasikan menjadi skemata baru.
Ketiga proses itu merupakan aktivitas secara mental yang
hakikatnya adalah proses interkasi antara pikiran dan realita. Seseorang yang
mempunyai kemampuan equilibrasi baik akan mampu menata berbagai informasi ke
dalam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan seseorang yang tidak
memiliki kemampuan equilibrasi yang baik akan cenderung memiliki alur pikiran
yang ruwet, tidak logis, dan berbelit-belit (Sugihartono, 2013:110-111).
c.
Jerome Bruner
(1915-…)
Profesor
Jerome Bruner adalah seorang psikolog berkebangsaan AS yang banyak memberikan
kontribusi pada psikologi kognitf dan teori belajar kognitif pada psikologi
pendidikan. Pengaruhnya pada proses mengajar sangat penting dan ia memperlopori
pendekatan penemuan (discovery) dalam pengajaran matematikan meskipun ia
bukan penemu konsep tersebut (Sugihartono, 2013:111).
Menurut
Bruner, belajar adalah proses yang bersifat aktif terkait dengan ide Discovery
Learning yaitu siswa berinteraksi dengan lingkungannya melalui eksplorasi
dan manipulasi obyek, membuat pertanyaan dan menyelenggarakan eksperimen. Teori
ini menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep
dan prinsip dalam siswa adalah dengan mengkontruksi sendiri konsep dan prinsip
yang dipelajari itu. Hal ini perlu
dibiasakan sejak anak-anak masih kecil (Sugihartono, 2013 : 111).
Teorinya yang diadaptasi dari tahapan perkembangan
kognitif Piaget mempertajam konsep pendidikan usia dini. Brunner mengemukakan
bahwa proses belajar lebih ditentukan oleh cara mengatur materi pelajaran dan
bukan ditentukan oleh umur seseorang seperti yang telah dikemukakan oleh
Piaget. Bruner menjelaskan perkembangan dalam tiga tahap, (Sugihartono, 2013 :
112) yaitu :
1)
Enaktif (0-3 tahun)
Tahap ini merupakan tahap representasi pengetahuan dalam melakukan
tindakan. Pada tahap ini anak melihat dunia melalui gambar-gambar
atau visualisasi. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek kenyataan
tampa menggunakan pikiran atau kata-kata. Anak melakukan aktivitas-aktivitas
dalam upaya memahami lingkungan. Cara ini terdiri atas penyajian
kejadian-kejadian masa lampau melalui respon motorik. Misal seorang anak secara enaktif
mengetahui bagaimana mengendarai sepeda
2)
Ikonik (3-8 tahun)
Tahap yang merupakan perangkuman bayangan secara visual. Pada tahap ini
anak melihat dunia melalui gambar-gambar atau visualisasi. Dalam belajarnya,
anak tidak memanipulasi obyek-obyek secara langsung, tetapi sudah dapat
memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari obyek.
Cara ini
didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar
yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Misal sebuah segitiga menyatakan
konsep kesegitigaan.
3)
Simbolik (>8 tahun)
Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung
dan tidak lagi menggunakan obyek-obyek atau gambaran obyek. Pada tahap
ini anak memiliki gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan
logika. Misal bahasa dan angka sebagai representasi simbol.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembelajaran
adalah (Sugihartono, 2013 : 112) :
1)
Guru harus bertindak sebagai fasilitator, mengecek
pengetahuan yang dipunyai siswa sebelumnya, menyediakan sumber-sumber belajar
dan menanyakan pertanyaan yang bersifat terbuka.
2)
Siswa membangun pemaknaannya melalui eksplorasi,
manipulasi dan berpikir.
3)
Penggunaan teknologi dalam pengajaran, siswa sebaiknya
melihat bagaiman teknologi tersebut bekerja daripada hanya sekedar diceritakan
oleh guru.
Teori belajar ini sangat membebaskan siswa untuk belajar
sendiri yang disebut bersifat discovery learning (belajar dengan cara
menemukan). Di samping itu, karena teori ini banyak menuntut
pengulangan-pengulangan sehingga desain yang berulang-ulang tersebut disebut
sebagai kurikulum spiral Bruner. Kurikulum ini menuntut guru untuk memberi
materi perkulihan setahap demi setahap dari yang sederhana sampai yang kompleks
di mana suatu materi yang diberikan suatu saat muncul kembali secara
terintegrasi dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya
berulang-ulang sehingga tak terasa siswa telah mempelajari suatu ilmu
pengetahuan secara utuh (Sugihartono, 2013 : 112-113).
Dengan cara ini
siswa akan memperoleh pengetahuan yang benar-benar bermakna. Pengetahuan yang diperoleh dengan discovery
learning mempunyai beberapa kebaikan, yaitu :
1)
Pengetahuan itu
bertahan lama atau lama dapat diingat atau lebih mudah diingat, bila
dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain.
2)
Hasil belajar
penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada prinsip belajar
lainnya. Dengan kata lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dijadikan
milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi baru.
3)
Secara
menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir
secara bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih ketrampilan-ketrampilan
kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang
lain.
d.
Lev Vygotsky (1896-1934)
Vygotsky
adalah seorang filosof Rusia yang idenya mempunyai peran penting dalam memahami
budaya, interaksi sosial, dan peranan bahasa dalam perkembangan kognitif. Ia
dipengaruhi oleh Pavlov dan beranggapan bahwa perkembangan secara langsung
dipengaruhi oleh perkembangan sosial. Istilah yang sering digunakan adalah :
dampak sosial, scaffolding, dan zone of proximal development (ZPD)
(Sugihartono, 2013 : 113).
Berbeda
dengan konstruktivisme kognitif Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vygotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery
dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Inti
konstruktivis Vygotsky adalah interaksi antar aspek internal dan eksternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar (Sugihartono, 2013 : 113).
Interaksi
sosial dipelajari anak dari orang yang kemampuan intelektulnya di atas kemampuan
si anak seperti anak lain di atas umurnya atau orang dewasa di sekitarnya. Guru
berperan sebagai pengarah dan pemandu kegiatan siswa dan mendorong siswa yang
mampu untuk bekerja mandiri (Sugihartono, 2013 : 113).
Pembelajaran
berdasarkan scaffolding yaitu memberikan ketrampilan yang penting untuk
pemecahan masalah secara mandiri seperti berdiskusi dengan siswa, praktek
langsung dan memberikan penguatan. Guru yang memberikan bantuan penuh secara
bertahap justru akan mengurangi pemahaman siswa. Misalnya mengajari anak
mengendarai sepeda adalah bukan dengan memberi secara teoritis tetapi langsung
mempraktekkan menaiki sepeda (Sugihartono, 2013 : 113).
Zone
of Proximal Development (ZPD) adalah wilayah di mana anak
mampu untuk belajar dengan bantuan orang yang kompeten. Area ini berada antara kemampuan anak belajar sendiri dan
apa yang masih mampu diupayakannya dengan bantuan orang lain. Penilaian belajar
dilakukan dengan menggunakan checklist, review teman atau pertanyaan. Penerapan
teknologi untuk belajar adalah dengan pemakaian visualisasi, contoh grafis,
pengalaman dunia nyata yang terkait dengan kebutuhan siswa (Sugihartono, 2013 :
113-114).
DAFTAR PUSTAKA
Fauziah Nasution. 2011.
Psikologi Umum. IAIN SU : Fakultas Tarbiyah.
Sugihartono, dkk. 2013. Psikologi Pendidikan.
Yogyakarta : UNY Press.
Syaiful Bahri Djamarah. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta
: Rineka Cipta.
Muhaimin, dkk.
2002. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah.
Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar, Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Lefrancois,
Guy R. 1995. Theories of Human Learning. Kros’s Report :Book/Cole
Publising Company.
Hergenhann,
B.R. & Olson , Mettew H. 1997. An Introduction to The Theories of
Learning. New Jersey : Prantice hall Inc.
Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment